ZALORA Rambah Segmen B2B Demi Tingkatkan Profitabilitas, Sekaligus Tunjuk CEO Baru

ZALORA, platform e-commerce khusus fesyen dan gaya hidup, memperkenalkan layanan B2B sebagai jalur bisnis baru demi mendongkrak posisinya sebagai perusahaan yang keberlanjutan. Ada empat solusi yang ditawarkan, yakni E-Fulfillment, Data, Marketing, dan E-Distribution. Solusi ini merupakan bagian dari expertise induk Zalora, Global Fashion Group (GFG).

Pada saat yang bersamaan, ZALORA juga memperkenalkan Aasish Midha sebagai CEO dan Managing Director untuk ZALORA Indonesia & Filipina. Midha menggantikan Anthony Fung yang sudah menjabat di ZALORA Indonesia sejak 2015. Midha sudah bergabung di ZALORA selama lima tahun, posisi terakhirnya adalah Revenue Director ZALORA Filipina.

Di bawah kepemimpinannya, ia akan memperkuat brand identity ZALORA yang telah solid dibangun selama lebih dari satu dekade, dengan memperluas jangkuan melalui pertumbuhan yang eksponensial dan menguntungkan.

“B2B merupakan pilar penting sekaligus jadi sumber revenue baru, sehingga kami melihatnya sebagai era bisnis yang sama pentingnya dengan bisnis B2C. Kami menawarkan layanan menyeluruh untuk membantu brand dapat terbantu. Solusi ini berlaku untuk seluruh operasional Zalora, termasuk Indonesia,” terang Midha dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/12).

Lebih lanjut, melalui solusi E-Fulfillment, ZALORA menghadirkan One Stock Solution (1SS) dan Fulfillment by Zalora (FBZ) sebagai solusi pemenuhan yang ditawarkan kepada brand partner strategis untuk meningkatkan efisiensi pengiriman produk dan layanan pelanggan.

Melalui Fulfillment by ZALORA (FBZ), brand dapat memanfaatkan solusi e-commerce end-to-end yang telah disempurnakan oleh ZALORA untuk menikmati proses operasi yang disederhanakan. Dengan FBZ, brand yang berjualan di ZALORA dapat mengandalkan jaringan ahli logistik dan infrastruktur ZALORA yang sudah mapan, namun tetap memiliki kendali atas kampanye dan keputusan pemasaran.

Berikutnya, One Stock Solution (1SS), memungkinkan brand untuk menikmati manfaat dari infrastruktur pergudangan dan logistik ZALORA tidak hanya untuk brand store mereka di dalam platform ZALORA, tetapi juga untuk platform online eksternal.

Melalui 1SS, pesanan brand partner dari platform marketplace non-ZALORA dan situs web brand disimpan dan dipenuhi oleh ZALORA – memberikan brand kemudahan dalam menggabungkan manajemen e-commerce mereka melalui operasi dan pemenuhan digital ZALORA secara menyeluruh.

Mengutip dari situsnya, solusi E-Fulfillment ini telah mengelola pesanan e-commerce di ZALORA.com untuk lebih dari 300 merek lokal & internasional. Perusahaan memiliki satu gudang pusat di Malaysia untuk menangani pesanan skala regional. Terdapat dua gudang lokal, masing-masing di Filipina dan Indonesia untuk menangani pesanan domestik. Serta armada kurir last-mile sendiri yang tersebar di Malaysia, Singapura, Filipina, dan Indonesia.

Sejak solusi E-Fulfillment diperkenalkan, mayoritas brand global telah memanfaatkan solusi tersebut. Di antaranya, Ted Baker, Giordano, H&M, Hush Puppies, Kipling, hingga Mango, lalu ada dua brand lokal yang turut bergabung, yakni Varesse dan RiaMiranda. Secara regional, ZALORA beroperasi di Singapura, Malaysia & Brunei, Indonesia, Filipina, Hong Kong, dan Taiwan.

Secara terpisah mengutip dari Tech in Asia, Zalora dilaporkan sudah cetak EBITDA positif yang disesuaikan pada tahun lalu. Walau platform e-commerce ini tidak setenar pemain sejenisnya di skala regional, seperti Shopee dan Lazada, pencapaian ini patut diapresiasi.

Dipaparkan, margin EBITDA positif yang disesuaikan – ukuran pendapatan sebagai persentase pendapatan – sebesar 0,7%. Dalam periode yang sama, terdapat 2,9 juta pembeli membeli setidaknya satu item dari ZALORA, tidak termasuk pembatalan, penolakan, dan pengembalian. Bila diterjemahkan dengan angka, menjadi 412 juta Euro ($451,4 juta) dalam net merchandise value.

Di saat yang sama, banyak pemain e-commerce yang juga menjual produk fesyen dan aksesoris melalui brand yang dikelola sendiri, pengguna mengakses ZALORA untuk mencari kategori yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, yakni merek barang mewah (luxury brands).

Dalam paparannya, Midha menjelaskan pertumbuhan dari transaksi kategori tersebut mencapai 37% secara yoy. Kategori lainnya berdasarkan pertumbuhan nilai pesanan rata-rata adalah Kids (6%), perabotan rumah tangga (14%), dan kecantikan (18%). Bila melihat dari tiga kategori yang paling banyak dibeli, dipegang oleh: produk olahraga, pakaian pria, dan pakaian perempuan.

Resmikan program loyalitas

Untuk mendorong loyalitas konsumen, ZALORA meresmikan ZALORA VIP, yakni program berlangganan dengan pemberian voucher diskon, ekstra cashback, pengiriman gratis, akses pelanggan prioritas, serta keuntungan eksklusif lainnya. Biaya berlangganan ini dimulai dari Rp99 ribu yang berlaku selama satu tahun.

“Pelanggan kami sangat setia, memungkinkan kami mencapai NPS (Net Promoter Score) tertinggi di atas 80% di Indonesia. Menurut saya tidak ada yang bisa seperti ini [mencapai skor tinggi].”

Diharapkan adopsi ZALORA VIP ini dapat semakin masif ke depannya. Diklaim, pengguna ZALORA VIP mencapai 15%-20% dari total konsumennya.

Di Indonesia saja, pengguna ZALORA didominasi oleh perempuan (74%) dengan rentang usia mulai dari 18-45 tahun. Menariknya, transaksi terbesar ZALORA justru datang dari luar Jakarta (23%). Lokasi terbesar dipegang oleh pulau Jawa (50%), Sumatera (12%), Kalimantan (5%), Sulawesi (4%), Bali-NTB&NTB-Papua&Maluku masing-masing berkontribusi sebesar 2%.

Dengan tren ritel yang masih menjanjikan di Asia, salah satunya karena pertumbuhan populasi masyarakat kelas menengah, berhasil menjadikan kawasan ini siap memimpin pemulihan ritel global di tahun-tahun mendatang.

Pada tahun mendatang, berbagai tren akan menarik perhatian. Seperti pengembangan pengalaman berbelanja yang menyenangkan dengan adopsi teknologi baru, seperti AI, AR, pengiriman cepat, dan pertumbuhan BNPL yang berkelanjutan; pertumbuhan social commerce lewat brand D2C yang terus bertumbuh dan kenyamanan konsumen berbelanja melalui platform media sosial; strategi omnichannel, yang memungkinkan konsumen dapat berbelanja di berbagai tempat saluran.

Midha menuturkan, tren ritel yang menjanjikan ini mendorong ekspansi omnichannel yang menarik dimulai dengan kampanye bersama para desainer lokal. Beberapa inisiatif yang pernah dilakukan adalah ZALORAYA (Malaysia) dan Zalora x Adidas ‘Supermart’ (Singapura).

“Kami tidak akan menjadi pemain ritel offline, karena offline itu untuk brand experience. Jadi format omnichannel kami lebih ke click and collect yang memberikan konsumen pengalaman belanja yang mendalam karena objektif belanja online dan offline itu berbeda,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Strategi LinkAja Menuju Profitabilitas, Fokus ke Pasar BUMN (UPDATED)

Berdarah-darahnya persaingan di area fintech digital payment B2C membuat LinkAja memutuskan untuk mengalihkan bisnisnya ke B2B dan B2B2C sejak 2021. Diklaim dari berbagai strategi efisiensi untuk pivot, telah membuahkan hasil. Sejak Juni 2023 hingga kini, LinkAja telah mencapai posisi EBITDA positif, artinya tinggal sedikit langkah menuju laba.

“LinkAja dalam dua tahun terakhir berturut-turut berhasil menurunkan cost opex 50%, tapi berturut-turut menaikkan revenue hingga 30%. Per Juni, Juli, dan Agustus [2023] selama tiga bulan berturut-turut sudah capai EBITDA positif,” terang Chief Finance and Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo kepada media di Jakarta, Selasa (19/9).

Walau tidak disebutkan secara rinci, ia menyampaikan kenaikan pendapatan ini disokong oleh berbagai inisiatif perusahaan sejak pivot dari B2C, sebagai berikut:

  • Kontribusi bisnis dari lima layanan utama, secara berturut-turut berdasarkan kontributor terbesar adalah produk transfer uang ke rekening bank, beli pulsa, pembayaran PPOB, top up/withdraw saldo, dan manajemen supply chain bersama Telkomsel (agen pulsa DigiPos) dan Pertamina.
  • Efisiensi aktivitas pemasaran turun hingga 98%, sekarang cashback sudah hampir tidak ada.
  • Optimalisasi teknologi dan infrastruktur pendukung, termasuk e-KYC turun sekitar 30%.
  • Merumahkan ratusan karyawan pada Mei 2022.

Menurut Reza, peningkatan ini sangat luar biasa karena perusahaan sekarang sudah tidak lagi bicara mengenai pengguna aktif bulanan (MAU) dan nilai transaksi bruto (GMV) sebagai indikator kinerja, melainkan unit economics yang sudah terpampang nyata.

“Ke depannya kita mau menaikkan revenue yang seperti ini. Ekspektasi kita revenue di 2023 bisa naik 30% dari 2022. Di 2021 itu kita naik 30% setelah menurunkan cost hingga 60%. Loss [EBITDA] tinggal 99%, masih sedikit lagi untuk positif bila secara full year 2023.”

Di balik pencapaian tersebut, ada satu hal yang menarik bahwa jumlah pengguna LinkAja menunjukkan tren penurunan. Namun di saat yang bersamaan, tingkat retensinya meningkat di angka 90%. Reza menjelaskan, hal ini terjadi karena pengguna LinkAja yang ada saat ini tergolong berkualitas. Salah satu kemungkinan terbesar yang mereka lakukan adalah lebih sering bertransaksi.

Ambil contoh, perusahaan melakukan renegosiasi untuk revenue sharing dengan perbankan untuk layanan transfer uang. Dari awalnya gratis tanpa biaya admin, kini dikenakan biaya Rp1.000. Perolehan uang tersebut sepenuhnya masuk ke kantong LinkAja.

“Dibandingkan tiga tahun lalu, ARPU (average revenue per user) sekarang 5-7 kali lipat kenaikannya, dibandingkan kita spend marketing gede-gedean.”

Walau terjadi tren penurunan, pihaknya memastikan bahwa sebenarnya yang diincar adalah pengguna yang berkualitas dan loyal. Jadi masalah kuantitas tidak begitu berpengaruh bagi LinkAja. Kendati demikian, Reza mengaku sudah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk kembali mendongkrak jumlah pengguna ke depannya. Ia ingin setiap uang yang diinvestasikan harus balik menjadi pendapatan perusahaan.

Berdasarkan data internal perusahaan, total pengguna LinkAja yang teregistrasi mencapai 91 juta orang. Tidak disampaikan pengguna aktifnya saat ini.

“Kita mau biarkan turun sementara [jumlah pengguna] untuk jaga profitabilitas. Yang penting proft dulu, jadi benar-benar enggak ada ruang untuk lemak, tinggal daging yang jadi otot.”

Model bisnis LinkAja

Dengan model bisnis B2B dan B2B2C, LinkAja memanfaatkan posisinya yang strategis dengan jajaran investor dari perusahaan pelat merah. Disebutkan sebagian besar perusahaan pelat merah —beberapa adalah pemegang saham di LinkAja— ini adalah pemilik pangsa pasar terbesar di industrinya masing-masing di Indonesia, seperti Telkomsel dan Pertamina.

Menggarap pasar captive jadi lebih masuk akal karena masih banyak potensi yang belum tergarap. Strategi ini selaras dengan ambisi awal dibangunnya LinkAja, yakni berupaya meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia di kota lapis dua dan tiga.

Saat ini, pemegang saham pengendali di LinkAja adalah Telkomsel. Lalu disusul BRI, Bank Mandiri, BNI. Berikutnya, Pertamina, Jasa Marga, Taspen, dan lainnya punya persentase yang kurang lebih sama.

“Daripada kami compete di area yang sama [pemain e-wallet lainnya], lebih baik compete di SOE (state-owned enterprise) karena rata-rata leader di tiap industri itu dari SOE. Kalau startup lain harus ketok pintu satu-satu, tapi LinkAja sudah ada akses.”

Dicontohkan inisiatif B2B yang sudah berjalan, yakni manajemen rantai pasok bersama Telkomsel dan Pertamina. Bersama Telkomsel, melalui aplikasi agen pulsa Digipos, LinkAja menjadi penghubung alat pembayaran, antara agen pulsa dengan diler. Aplikasi tersebut juga telah ditenagai dengan PPOB, sehingga mereka tidak jualan pulsa saja. Diklaim transaksi pembelian pulsa di Digipos mencapai miliaran Rupiah.

“LinkAja adalah satu-satunya alat pembayaran di Digipos, jadi 100% uang berputar di sana. Ini sudah ngomong tentang supply chain di belakangnya. Jadi sekarang kita enggak cuma B2C e-wallet tapi jadi infrastruktur pembayaran.”

Contoh sukses ini akan direplikasi ke manajemen rantai pasok lainnya di ekosistem BUMN. Pertamina misalnya, untuk aplikasi MyPertamina, kini metode pembayarannya bertambah, ada OVO dan GoPay. Induk GoPay adalah pemegang saham di LinkAja, sedangkan OVO adalah afiliasi dari Grab, salah satu investor LinkAja.

Untuk memperkuat infrastruktur pembayaran, LinkAja berencana untuk menambah izin sebagai gerbang pembayaran. Langkah ini akan ditempuh dengan cara organik, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Terlebih saat ini LinkAja sudah memperoleh kategori izin tertinggi dan hanya dibutuhkan beberapa persyaratan lagi untuk mendapat lisensi gerbang pembayaran.

Ambisi yang akan dicapai setelah memperoleh izin tersebut adalah memungkinkan mitra B2B LinkAja untuk tarik dana di kanal mana pun. Saat ini pengguna LinkAja dapat tarik tunai via ATM Himbara. “Jadi kami tidak compete dengan Xendit atau payment gateway yang lain.”

Reza juga mengungkap bahwa sebelum tutup tahun, perusahaan akan melakukan penggalangan dana untuk mengejar pertumbuhan. Terdapat investor existing dan baru dari luar negeri yang akan bergabung.

Aplikasi khusus BUMN

LinkAja

Dalam rangka menggarap pasar captive di ranah B2B2C, baru-baru ini LinkAja merilis aplikasi LinkAja dengan tampilan khusus (skin) BUMN. Tampilan ini diperuntukkan buat para pegawai BUMN dengan fungsi sebagai aplikasi pembayaran dan komunikasi terpadu seputar kementerian maupun perusahaan BUMN yang tergabung di dalamnya.

Tak hanya itu, aplikasi tersebut juga dapat diutilisasi sebagai media promosi terkait produk dan layanan masing-masing perusahaan BUMN.

Disebutkan ada lebih dari 200 ribu karyawan BUMN sudah terdaftar dapat menikmati produk, program, informasi, layanan, dan bertransaksi aktif dalam aplikasi. Bila ditotal ada lebih dari 1 juta karyawan yang berpotensi menjadi pengguna.

“Game besarnya di aplikasi ini ada banyak. Ada yang mau kita replikasi, salah satunya loyalty exchange nanti bisa terintegrasi oleh antar aplikasi BUMN. Lalu kita juga bisa tawarkan produk kasbon ke karyawan BUMN. Strategi seperti ini yang nantinya akan jadi nilai tambah dari kita.”

Nasib terkini iGrow

Terkait nasib iGrow, Reza menuturkan saat ini pihaknya masih menjalani proses hukum untuk bertanggung jawab terhadap gugatan yang dilayangkan oleh sejumlah eks lender karena masalah gagal bayar. Ia pun siap menjalani proses tersebut.

“Kami tetap berusaha menyelesaikan langkah penyelesaian, termasuk apabila aset borrower harus ditarik untuk dikembalikan lagi ke lender. Komitmen kami terhadap iGrow cukup kuat.”

Saat ini proses mediasi antar kedua belah pihak masih buntu karena penggugat mencabut gugatannya untuk sementara dan sedang mempersiapkan gugatan baru.

Sembari proses tersebut kelar, nama badan hukum dan brand telah diubah per Agustus kemarin. Dari PT iGrow Resources Indonesia menjadi PT LinkAja Modalin Nusantara, dengan nama brand LinkAja Modalin Powered by iGrow.

Persiapan ini dalam rangka pivot bisnis dari pembiayaan di industri agrikultur menjadi UMKM close loop di dalam ekosistem BUMN. Produk-produknya adalah Retailer Financing, Invoice Financing, Invoice Financing Mitra Telkomsel, dan Distributor Financing.

“Kami masih terus carikan solusi untuk penyelesaian [pembiayaan agri] sampai clear dan bisnis baru juga sudah clear, baru kita sampaikan ke OJK. Setiap bisnis baru itu kan harus dapat persetujuan dari OJK. Modalin sekarang belum efektif berjalan, tapi kami sudah intensif berkomunikasi dengan OJK dan partner di BUMN,” pungkasnya.

*) Kami memperbaiki informasi struktur pemegang saham di LinkAja

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Titipku Masuk ke Segmen B2B, Mantapkan Strategi Menuju Profitabilitas

Di tengah gejolak jatuh-bangun online grocery, Titipku memantapkan strategi “path to profitability” dengan memperluas bisnisnya ke segmen B2B. Ekspansi akan dimulai pada kuartal keempat tahun ini dengan target beroperasi secara bertahap pada 2023.

Berdiri di 2017, Titipku merupakan lulusan Y Combinator batch S21. Titipku didirikan oleh Ong Tek Tjan dan Henri Suhardja dengan misi utama mendigitalkan pasar tradisional yang menjajakan kebutuhan pangan segar, seperti sayur, ayam, daging, dan ikan.

Awalnya, Titipku dirancang untuk mendigitalkan UMKM dengan target skala nasional. Ada 1.000 mitra UMKM yang berhasil digandeng saat itu. Namun, pihaknya mengaku kesulitan untuk mengelola karena mitranya datang dari berbagai kategori. Dalam perjalanan selama 2-3 tahun, Titipku mulai mengubah model bisnis ke hyperlocal, fokus pada digitalisasi pedagang pasar.

Banyak area-area kecil yang belum tergarap aksesnya. Padahal, keberadaan pasar bertempat di lokasi strategis. Dari data yang kami peroleh, tahun 2020 Titipku mencatat omzet 700%, serta merangkul lebih dari 31.000 UMKM dan 7.000 penjelajah. Sekarang Titipku, sudah bekerja sama dengan hampir 10.000 pedagang di 150 pasar.

Memperkuat posisi

Dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.id, Co-founder dan CEO Titipku Henri Suhardja meyakini bahwa bisnis online grocery masih punya peluang besar di Indonesia. Ada banyak pasar yang dapat digarap, tak hanya sebatas menguntungkan konsumen akhir.

Berdasarkan data di “Online Grocery Report 2022” yang diterbitkan Titipku, perilaku konsumen dalam berbelanja sudah terbentuk secara stabil selama masa pandemi Covid-19. Bahkan, Titipku mencatat ada kenaikan transaksi online grocery sebanyak 4-5 kali sebelum pandemi.

Untuk mendorong efisiensi dan menjaga pertumbuhan di segmen B2C, Titipku melakukan sejumlah strategi. Misalnya, memaksimalkan channel marketing dan melakukan perbaikan aplikasi untuk meningkatkan kenyamanan pengguna. Strategi ini diyakini dapat mendorong awareness terhadap efektivitas layanan online grocery, terutama bagi kaum ibu-ibu.

Titipku juga memperluas segmen pasarnya pada akhir tahun ini. Berkat keuntungan yang diklaim telah diperoleh dari segmen B2C, pihaknya mantap untuk masuk ke bisnis B2B. Modelnya, sales Titipku akan menjual pasokan produk ke pedagang pasar, dan pesanan akan diantar sesuai kesepakatan jam pengiriman. Value proposition yang ditawarkan tetap sama, yakni pasokan produk segar dengan harga terjangkau. Dengan harga dan kualitas ini, pedagang dapat menghindari potensi fraud.

Ke depannya, Titipku berkomitmen untuk memfasilitasi pemberian modal usaha, tidak hanya membantu pada suplai produk saja. Tujuannya untuk membangun ekosistem UMKM dan pedagang pasar di Jabodetabek.

“Sejak awal, kami berkomitmen untuk tumbuh bersama pedagang pasar. Kami tidak memiliki warehouse untuk produk yang akan dijual. Kalau Titipku punya, ini akan mengerdilkan peran pasar dan justru bertolak belakang dengan visi dan misi kami. Pasar rekanan Titipku adalah warehouse terbaik yang dimiliki. Semua produk diambil langsung dari pedagang,” ujarnya.

Di sisi lain, Titipku juga mengungkap rencananya untuk melakukan fundraising dalam waktu dekat. Namun, Henri enggan mengelaborasi lebih lanjut.

Masuk ke B2B

Untuk dapat menjalankan bisnis online grocery secara berkelanjutan, Henri menilai penting untuk fokus terhadap kualitas produk dan layanan, serta unit economic. Menurutnya, yang terjadi di industri saat ini, banyak yang terlalu terpaku pada promo, bukan ketiga hal tersebut.

“Kami fokus untuk menjadi sustainable business, memastikan path to profitability. Maka itu, kami mulai masuk ke B2B pada akhir tahun. Ini bukan pivot, tetapi menjadi B2B2C secara keseluruhan,” tuturnya pada kesempatan terpisah beberapa waktu lalu.

Disampaikan Henri pada acara Titipku 6th Anniversary, operasional B2B akan dimulai pada kuartal I 2023 dengan memasok ke 27 pasar untuk tahap awal. Pihaknya akan masuk ke pasar sentral untuk melayani 60 pasar sekunder di kawasan Jadetabek pada kuartal II.

Masih di kawasan sama, jumlah tersebut akan ditambah menjadi 80 pasar di kuartal III, dan naik menjadi 100 pasar pada kuartal IV. Titipku juga akan ekspansi ke Bandung dan Surabaya.

Founder Titipku Ong Tek Tjan menambahkan, pihaknya tak menutup kemungkinan di masa depan untuk memasok produk dari para petani. Menurutnya, pasar tradisional masih dipersepsikan sebagai kaum marjinal, posisinya dinilai kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional juga sulit mendapat pasokan berkualitas.

Titipku akan meningkatkan perannya dengan memfasilitasi pemberian akses modal usaha dari mitra lembaga keuangan. Langkah ini dapat membantu pedagang untuk mengelola rantai pasok dengan baik.

Pihaknya juga mengaku optimistis terlepas dari situasi perlambatan ekonomi saat ini. “Orang-orang akan mengalihkan pengeluaran kepada kebutuhan pokok sehingga mereka akan belanja. Ketika ini terjadi, kami ingin mitra Titipku dapat memilih pasokan barang dengan kualitas barang sehingga tak kalah dengan pasar modern.” tambahnya.

Gejolak online grocery

Bisnis online grocery, termasuk quick commerce, tak hanya terguncang di skala global saja. Sejumlah startup menutup layanannya karena tak mampu lagi menjadi bisnis berkelanjutan, khususnya di segmen B2C.

Salah satu pemain terbesar, HappyFresh kesulitan keuangan sehingga harus meracik kembali strategi bisnisnya. Brambang terpaksa menutup layanan online grocery dan langsung pivot menjadi marketplace untuk produk elektronik bekas. Sementara, kegagalan menemukan unit ekonomi yang cocok memaksa Bananas untuk melakukan hal serupa dan pivot ke bisnis lain.

Padahal, online grocery termasuk salah satu primadona layanan digital yang mengantongi akselerasi luar biasa ketika masa awal pandemi. Namun, tren ini diprediksi melandai sejalan dengan melonggarnya pembatasan sosial menuju transisi pasca-pandemi. Masyarakat sudah mulai beraktivitas keluar dan berbelanja langsung di toko sejak setahun terakhir.

Di samping itu, segmen B2C pada online grocery juga dinilai sulit untuk menjadi bisnis berkelanjutan mengingat perlu modal besar untuk infrastruktur logistik dan subsidi pada promo diskon.

Dalam analisis DailySocial.id terdahulu, potensi online grocery belum maksimal mengingat penetrasinya masih berputar di kota-kota besar, seperti Jabodetabek. Terlebih, masyarakat masih terbiasa berbelanja kebutuhan sehari-hari langsung di toko fisik. Berdasarkan laporan “The Institute of Grocery Distribution (IGD) Asia” nilai pasar online grocery akan bertumbuh 198% dari $99 miliar di 2019 jadi $295 miliar di 2023.

Application Information Will Show Up Here

Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Tips Membangun Model Bisnis Berkelanjutan dari Tanihub

Ketika seorang founder membangun startup, pastinya ia ingin membentuk bisnis yang bertahan lama. Untuk mencapai hal itu, diperlukan model bisnis yang berkelanjutan. Namun, pada prosesnya ada banyak sekali faktor, baik internal maupun eksternal, yang kemudian mempengaruhi. Khususnya dalam industri teknologi tanah air yang memiliki dinamika tinggi.

Dalam sesi DSLaunchpad ULTRA, Co-Founder dan CEO Tanihub Pamitra Wineka berbagi pengalamannya ketika proses awal mula pembentukan TaniHub hingga sampai pada model bisnis yang dijalankan saat ini.

Berawal dari sebuah misi sosial untuk membantu petani melariskan dagangan, TaniHub kini telah menjadi agregator untuk petani; dan kini telah terhubung dengan ribuan pengguna.

Berangkat dari pain points

Lima tahun yang lalu, sosok Pamitra yang lebih akrab dipanggil Eka ini memulai proyek sosial bersama para petani. Menurutnya, sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Ia mulai dengan membantu petani untuk bisa melariskan hasil panen. Dari situ ia menemukan beberapa pain points, yaitu kurangnya edukasi petani terkait produksi serta akses pada permodalan.

“Banyak petani Indonesia yang masih menanam tanpa memiliki perhitungan ke depan untuk hasil produksinya nanti akan di jual ke mana. Akibatnya, mereka kurang dipercaya untuk akses pinjaman modal. Saya lihat teknologi bisa membantu menyelesaikan masalah ini.” ujarnya.

Selain itu, Eka juga menyinggung soal industri agrikultur di Indonesia yang masih fragmented, ada banyak pemain kecil yang menjual hasil produksi yang serupa. Lalu muncul ide sebuah marketplace yang mempertemukan petani dengan pembeli. Dalam hal ini, tantangan datang dari beberapa sektor yang saat itu belum matang dan waktunya yang kurang tepat.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, perusahaan memutuskan untuk beralih konsep menjadi agregator, membuat pembagian, menyediakan gudang dan inventorinya. Model bisnis ini terbilang membutuhkan modal yang besar atau asset-heavy, namun Eka yakin selama bisa mencetak trafik dan revenue, maka bisnis akan terus berjalan. “Terkadang, beberapa model bisnis memang harus asset-heavy menjelang pasar semakin matang dan pengguna lebih teredukasi,” tambahnya.

Business model canvas

Dalam merencanakan model bisnis diperlukan strategi, manajemen, maupun sistem yang mempermudah orang-orang di dalamnya untuk bekerja secara efektif dan sesuai tujuan yang dimiliki perusahaan. Satu hal yang penting untuk diterapkan adalah business model canvas, sebuah konsep yang mengandalkan gambar-gambar ide sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama dan riil terhadap tipe-tipe konsumen mereka, pengeluaran biaya, cara kerja perusahaan dan sebagainya.

Sumber: Global Leadership World

Seperti yang sebelumnya disebutkan, setiap solusi yang dibuat harus bisa menyelesaikan pain points yang ada di masyarakat. Sementara demand dari pasar semakin bertumbuh, dari situ akan lebih mudah untuk menentukan strategi untuk melancarkan revenue. Maka dari itu, penting sekali untuk mulai observasi kebutuhan pasar sebelum mulai memetakan model bisnis. “Kita harus bisa menjadi painkiller instead of vitamins,” sebut Eka.

Terkait sumber revenue, ia juga menyampaikan bahwa dalam menentukan strategi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah penentuan harga, strategi mengambil komisi dari marked up harga sudah umum terjadi. Namun, jangan sampai strategi ini malah membuat produk tidak kompetitif lalu gagal. Perusahaan harus bisa membentuk satu kesatuan, sehingga disparitas harga pun bisa lebih pendek.

Tinjauan yang berkelanjutan

Belajar dari perjalanan bisnis TaniHub, model bisnis bisa berubah sewaktu-waktu atau sering disebut pivot. Selalu ada faktor eksternal bahkan internal yang mempengaruhi operasional bisnis secara keseluruhan. Eka sendiri mengakui bahwa perusahaannya punya tim khusus untuk testing model bisnis yang sudah ada secara regular.

Ada beberapa cara untuk mengetahui bahwa sebuah bisnis model masih efektif atau tidak di dalam pasar. Ketika produk diluncurkan namun tidak ada antusiasme dari pasar menjadi salah satu yang paling sering terjadi pada startup tahap awal. Maka dari itu, harus dilakukan penyesuaian. Dengan dinamika yang tinggi di dunia startup, hal ini harus bisa dilakukan dengan cepat untuk menghindari konsumsi waktu dan biaya yang tidak efisien.

Sebuah perusahaan seharusnya bukan hanya mengenai produk, melainkan bagaimana cara mengeksekusi dan melakukan kegiatan pemasaran yang berarti. Seorang founder juga harus bisa berpikir secara realistis mengenai distribusi, promosi produk, dan komunikasi.

Preferensi Penikmat Layanan OTT: Gratis dengan Iklan vs Berlangganan

Layanan over the top (OTT) digadang-gadang menjadi salah satu varian bisnis paling signifikan dalam industri teknologi. Pada dasarnya layanan OTT didefinisikan sebagai aplikasi online yang menyuguhkan tayangan video, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menonton konten sesuai seleranya — disebut juga sebagai platform video on-demand.

Menurut hasil riset yang dilakukan The Trade Desk dan Kantar, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini sudah melampaui 31%, merangkul sekitar 180 juta pengguna. Indonesia sendiri diproyeksikan telah memiliki 66 juta penikmat layanan OTT, dengan tingkat penetrasi mencapai 24%.

Sepanjang pandemi, pasar OTT di Indonesia juga mengalami kenaikan hingga 43%. Bahkan dari hasil survei yang dilakukan, pengguna di Indonesia sebagian besar (54%) menghabiskan waktu 1-4 jam per hari di layanan OTT.

Konten gratis dengan iklan

Secara mendasar, model bisnis utama layanan OTT umumnya dengan berlangganan fitur premium. Namun demikian, para pemain juga menyadari, bahwa saat ini konsumen mayoritas hadir dari penonton TV. Mereka terbiasa mengakses konten-konten secara gratis, kendati harus turut mendapatkan konten iklan.

Lantas model tersebut juga diaplikasikan di OTT. Banyak aplikasi yang menyuguhkan layanan secara gratis dengan mengikutsertakan iklan. Dari survei sendiri, 89% cenderung tidak mempermasalahkan iklan tersebut selama bisa menikmati konten secara gratis. Dan rata-rata masyarakat Indonesia yang disurvei (52%) masih mentoleransi adanya 2-3 iklan dalam sebuah tayangan video.

Namun demikian jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya persentase penggunaannya masih tetap banyak yang berbasis berlangganan. Di Indonesia, 40% responden mengatakan menggunakan tayangan berlangganan, dan hanya 12% yang hanya mengandalkan tayangan gratisan dengan iklan. Artinya, ada penerimaan yang baik dengan monetisasi berlangganan tersebut.

Preferensi konsumen terhadap layanan OTT berbayar atau beriklan / The Trade Desk dan Kantar

Ditinjau dari sisi pemilik platform, mereka juga memiliki proposisi yang cukup mengesankan untuk pelanggan berbayar. Misanya WeTV, pada dasarnya pengguna bisa mengakses semua konten yang ada di dalamnya secara gratis dan berimplikasi adanya iklan. Namun demikian 42% basis penggunaannya masih tetap membayar untuk paket premium.

Layanan OTT yang sajikan konten gratis dengan iklan / The Trade Desk dan Kantar

Dalam sebuah wawancara dengan perwakilan Tencent, kami mendapatkan strategi mereka untuk mengonversi pengguna gratis ke berbayar. Salah satunya konten eksklusif, misalnya di sebuah seri pengguna premium bisa menonton tayangan episode selanjutnya beberapa hari/minggu lebih cepat ketimbang yang gratis.

Selain pemain yang disebutkan di atas, beberapa platform termasuk yang dari lokal akhirnya juga mengadopsi model yang sama – menggratiskan akses dengan iklan. Sebut saja yang dilakukan oleh Vidio atau Goplay. Pendekatan ini dirasa bagus untuk mendapatkan minat kalangan pengguna baru yang sebelumnya tidak terbiasa dengan platform video on-demand.

Bagi bisnis, konsep ini juga mendukung strategi B2B mereka untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilik brand yang membutuhkan awareness, disisipkan ke konten yang lebih relevan atau target pengguna yang lebih sesuai terkait demografinya.

Konten lokal jadi pendorong

Dari hasil survei mengenai varian konten, 54% responden mengatakan suka konten film/serial dari Barat. Kemudian 43% lebih menyukai konten lokal. Dilanjutkan konten Korea (39%), Tiongkok (23%), dan Jepang (15%). Menjadi menarik karena tayangan lokal memiliki proposisi yang cukup tinggi. Maka ini menjadi kesempatan bagi pemilik platform untuk merangkul lebih banyak karya dari sineas lokal.

Di sisi lain, harusnya ini juga menjadi kesempatan apik kepada rumah produksi lokal untuk memanfaatkan kehadiran OTT untuk menayangkan karya mereka. Terlebih karena pembatasan fisik akibat pandemi juga mengakibatkan bioskop harus kembali ditutup.

Gambar Header: Depositphotos.com

Crowdo Kini Menjadi Neobank, Perluas Solusi Digital untuk UKM

Di balik besarnya potensi digitalisasi UKM Indonesia, masih menyimpan banyak isu yang ternyata tak cukup dengan kehadiran solusi p2p lending saja. Alasan tersebut yang menginisiasi Crowdo untuk perluas layanannya dan menobatkan diri menjadi neobank dari awalnya penyedia pinjaman p2p.

Menjadi neobank, bukan berarti Crowdo memegang lisensi bank digital. Perusahaan telah mengantongi izin penuh dari OJK sejak akhir tahun lalu sebagai p2p lending. Dalam menyediakan solusi yang ada, perusahaan bermitra dengan lembaga keuangan lainnya.

Neobank dan bank digital punya perbedaan konsep. Neobank adalah lembaga keuangan digital yang produk-produknya adalah hasil kemitraan dengan lembaga keuangan lainnya, salah satunya perbankan. Sementara, bank digital secara teorinya adalah bank-bank yang sudah ada mendigitalkan layanannya. Mereka biasanya memiliki lisensi untuk melakukan kegiatan pengambilan simpanan.

Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, perusahaan selalu berambisi menjadi institusi finansial, lending adalah salah satu produknya. Dari sisi konsumen UKM, masih banyak solusi yang mereka butuhkan. “Jika melihat dari tren fintech di global, neobank itu sangat consumer-centric. Produknya simpel dan seamless consumer journey-nya,” terangnya dalam wawancara terbatas bersama sejumlah media, kemarin (24/2).

Ditegaskan kembali oleh COO Crowdo Indonesia Nur Vitriani, dengan menjadi neobank artinya Crowdo menjadi katalis buat industri keuangan digital karena membawa inovasi baru dengan proses yang lebih simpel. Perusahaan tengah berdiskusi dengan tiga bank digital hadir di platform Crowdo.

Hanya saja, identitas dari ketiga bank ini masih dirahasiakan. “Kita sedang proses dengan tiga bank digital untuk onboarding di Crowdo. Bagi mereka, karena kami sudah punya teknologi AI tentu akan sangat membantu mereka daripada harus bangun sendiri,” terangnya saat dihubungi DailySocial, Kamis (24/2).

Sebagai neobank, Crowdo menyediakan solusi keuangan digital UKM dengan mengintegrasikan digitalisasi operasional dengan solusi pinjaman dan perbankan yang dibantu mesin penilaian kredit bertenaga AI. Serta, produk dan layanan yang didorong prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang positif.

Produk Crowdo saat ini

Ada dua solusi utama yang ditawarkan, yakni digitalisasi operasional dan produk keuangan, baik itu pinjaman dan fitur perbankan. Keduanya adalah masalah yang paling mendesak yang dihadapi UKM.

Saat ini, sebagian besar UKM di Indonesia mengelola data dan transaksinya secara offline dan manual. Hal ini mengakibatkan produktivitas yang buruk karena pemilik bisnis haru menghabiskan banyak waktu untuk masalah nonkomersial. Crowdo menawarkan solusi digital sederhana yang memungkinkan UKMK dengan mudah mengelola transaksi supply chain secara online dan mengakses produk keuangan lebih mudah.

Perusahaan menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

“Pinjaman Modal Kerja untuk mendukung proyek yang lebih besar dan persyaratan modal kerja bisa bantu UKM mengembangkan bisnisnya,” tambah Vitri.

Ke depannya, perusahaan akan menambah layanan digital lebih jauh untuk UKM. Misalnya manajemen biaya operasional, pengaturan tagihan, dan penggajian karyawan.

Adapun saat ini perusahaan telah memiliki 76 ribu pengguna per Desember tahun lalu dengan total penyaluran di kisaran Rp600 miliar. Pada tahun ini, perusahaan memiliki target ingin mendigitalkan $1 miliar dalam transaksi supply chain yang difasilitasi melalui komunitas UKM dan melipatgandakan penyaluran pinjaman hingga dua kali lipat menjadi Rp1,2 triliun.

Untuk lender Crowdo, saat ini sepenuhnya adalah lender institusi, yang datang dari perbankan atau multifinance. “Mereka melihat teknologi AI yang kami tawarkan untuk credit scoring engine yang mana ini sangat berguna terutama saat pandemi untuk mengurangi risiko NPL. Kami berhasil menahan laju NPL di bawah rata-rata perbankan,” kata Shimada.

Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo
Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo

Tahan ekspansi

Secara grup, Crowdo telah beroperasi di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Shimada menerangkan, ketiga negara ini saling berkontribusi satu sama lain dalam menginspirasi setiap inovasi perusahaan. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia punya kemiripan dari sisi regulatornya yang progresif untuk mendorong inovasi di industri fintech.

Sementara Singapura, lebih terbatas dalam ukuran pasar, tapi memiliki sumber daya yang langkap seperti data scientis. “Berada di tiga pasar ini, Crowdo sangat diuntungkan, Crowdo Indonesia melayani pasar terbesar di ASEAN sambil mengakses kemampuan yang kuat dari pasar kami yang lain.”

Terkait rencana ekspansi ke negara baru, belum menjadi suatu agenda yang diharuskan oleh perusahaan mengingat pandemi yang masih berlangsung. Namun, ia melihat permintaan yang kuat untuk solusi neobanking di pasar seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand dan ia secara proaktif melihat peluang masuk ke sana. “Indonesia akan tetap menjadi fokus utama kami.”

Dalam mendorong target perusahaan, diungkapkan bahwa saat ini Crowdo sedang memroses penggalangan Seri B. “Yang penting bagi kami adalah kami memiliki sekelompok investor yang bersemangat dengan misi kami untuk bergabung dalam putaran penggalangan dana,” tutup dia.

Exploring Monetizing Opportunities in E-commerce Companies

E-commerce companies considered tend to burn money for the highest GMV as a metric. Above all, in principle, companies of any kind is required to make a profit. This is where the business development team took part to look for profitable business opportunities.

Regarding this topic, #SelasaStartup invited Blibli Histeria’s Vice President of Business Development & Project Lead, Cindy Kalensang as the speaker. Cindy is to discuss further on various business development tasks, their relation to finding business opportunities for e-commerce services, and how they are implemented in Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
Blibli’S VP Of BizDev Cindy R Kalensang / Blibli

Generating business model

Cindy explained the basic task of business development is to develop a business for better growth, by exploring new business partnerships and so on. Therefore, he worked with various teams from Blibli’s other divisions for coordination.

In developing new business models, the business development team identifies underserved consumer needs in order to provide the right solution, called product market fit. “Product market fit is the one that needs to be iterated because consumers are looking for value, not only originality.”

Blibli started operating in 2011 using the B2C business model, as they wanted to guarantee the authenticity of goods to consumers. Therefore, Blibli collaborates with lots of brand partners. In this business, Blibli is taking a commission as a way of monetization.

The company has warehouses located at some spots throughout Indonesia to support its business model, especially to speed up delivery to consumers. Over time, the situation has changed, as a result, Blibli has developed other business models for B2B2C.

“Therefore, the process is to buy goods in large quantities, then store them and distribute them to our warehouse. Then, for B2B2C, revenue comes from margins, while B2C is from commissions,” he explained.

From the current business model, the problem remains for all e-commerce companies, it’s the uneven distribution process. This is because the majority of producers and distributors are located in Java. Eventually, the decision is final to open a new business model, it is C2C which all parties can participate in solving the problem.

“We open C2C, it opens for sellers, but we still curate [the onboarding process] and don’t let them sell fake[not original] items.”

Implementing new business model

Cindy continued, the competition of e-commerce services in Indonesia has gotten supper tight. It is visible through the number of e-commerce companies that adopted the “burning money” strategy by advertising on television for the sake of new consumer acquisitions.

“Actually, we are not only here to sprint but stay for the marathon. Blibli stands to be sustainable. That’s why we must remain loyal to our unique value proposition. The money-burning promo is normal because we want to acquire consumers, the most important thing is that the ongoing delivery value that stated Blibli’s difference from other players.”

Blibli’s business model continues to develop, from pure B2C, now B2B2C and entering C2C. Cindy said, the company continues to be adaptive to the situation. Blibli is also trying a new business model that is a subscription.

This is already running for the BlibliMart grocery service. Cindy explained that the subscription model is quite attractive and considered the key to success for Spotify. Initially, in enjoying music, people were accustomed to buying cassettes or CDs in physical form. Then, Apple comes and offers digital purchases per song.

“Spotify sees that people are saturated with music. In the end, they are offered streaming songs for free, but there are advertisements. They share profit with advertisers. Then they innovate with the subscription model. This is the model we are currently exploring. Amazon is successful with this model, offering one year of free shipping. ”

Cindy thought the trial subscription model at BlibliMart is quite on-point because it will be easier for consumers to buy certain needs at a much cheaper price. “Instead of buying when it’s sold out, it’s better to arrange the purchase. Goods are sent every two weeks. That is our value proposition by making a budget, therefore, spending is more efficient,” she concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
header: Depositphotos.com

“Freemium” vs Berlangganan: Mana yang Cocok untuk Startupmu?

Istilah freemium, gabungan dari free + premium, merupakan salah satu model bisnis populer yang menggabungkan konsep gratis dan berbayar. Tesis freemium memberikan akses gratis bagi pelanggan dengan fitur-fitur dasar dan memberikan fitur lebih banyak bagi mereka yang bersedia membayar.

Di sisi lain, ada pula layanan yang tidak memberikan free lunch, meskipun biasanya tetap menawarkan konsep uji coba gratis. Konsep berlangganan (atau subscription), membayar biaya secara pasti per bulan atau per tahun, menjadi pilihan bisnis untuk mendulang pendapatan.

DailySocial mencoba mencari tahu apakah skema freemium atau skema berlangganan bisa menjadi model bisnis yang tepat bagi startupmu.

Freemium dan pertumbuhan bisnis

Platform yang menyasar pasar ritel (B2C), seperti Linkedin, Spotify, atau YouTube, cenderung menawarkan skema freemium bagi konsumennya. Pelanggan yang enggan berlangganan secara premium akan disuguhkan iklan secara singkat atau dikurangi fiturnya ketika mereka mengakses layanan. Hal ini dianggap solusi win-win bagi semua pihak.

Menurut CEO Mtarget Yopie Suryadi, layanan freemium populer diterapkan perusahaan yang fokus secara B2C. Konsep freemium dianggap mampu meningkatkan stickiness pengguna untuk kemudian dikonversi sebagai pengguna berbayar.

“Di Mtarget sendiri Kami menerapkan [model bisnis] freemium dan juga subscription. Dengan demikian pengguna gratis dapat menggunakan seluruh fitur kami tetapi kuotanyanya terbatas. Setelah masa free berakhir, tim kami akan membuat flow dan strategi untuk mengubah mereka menjadi paid customer,” kata Yopie.

Ia melanjutkan, “[Penerapan konsep] Freemium yang berhasil memerlukan market research dan investasi yang cukup besar. Tapi ini akan sangat menjanjikan dari sisi growth. Strategi freemium sangat tergantung dengan karakter pengguna, aplikasi, dan market region masing-masing platform.”

Pilihan freemium juga banyak dipilih aplikasi permainan sosial. Platform semacam ini merupakan contoh sempurna penerapan model ini.

Mereka umumnya menampilkan mata uang virtual yang dapat digunakan pemain membuat kemajuan melalui berbagai level dalam permainan. Seorang pemain akan diberikan mata uang gratis pada awal permainan dan dapat meningkatkan saldo koin mereka dengan menyelesaikan tugas yang ditetapkan atau hanya dengan masuk setiap hari.

Jika ingin lebih cepat mendapatkan koin virtual atau melakukan kemajuan, konsumen bisa membayar biaya-biaya yang disajikan.

Menurut CEO MainGame Anton Soeharyo, strategi freemium “berhasil” memenangkan pelanggan di berbagai industri, termasuk bagaimana para game publisher mencari model bisnis terbaik bagi konsumennya.

“Pasar gaming di Indonesia mencapai $701 juta. Mereka [konsumen] willing to pay untuk bermain dan mendapatkan pengalaman dalam permainannya,” kata Anton.

Anton mengatakan, untuk permainan sederhana, biasanya berbasis HTML5  untuk menghabiskan waktu dan mungkin bisa mendapatkan hadiah, skema berlangganan adalah pilihan yang tepat. Sedangkan untuk game RPG dan sejenisnya, maka freemium bisa menjadi pilihannya.

“Saya melihat demikian karena setelah pemain mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman’ dalam permainannya, maka mereka condong untuk melakukan pembelian dan kemudian beralih ke premium,” kata Anton.

Skema berlangganan untuk konsumen bisnis

Berbeda dengan skema freemium, pilihan berlangganan lebih lazim ditawarkan oleh mereka yang menyasar konsumen bisnis (B2B). Skema berlangganan memberikan kebebasan penggunaan dan opsi kustomisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan bisnis, misalnya solusi-solusi berbasis SaaS.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, freemium dan berlangganan hanyalah cara perusahaan menangkap lebih banyak permintaan. Ini dapat diterapkan ke berbagai segmen pengguna. Aspek menarik dari perusahaan yang menjual produk piranti lunak (software) adalah biaya marjinal dari pelanggan tambahan terkadang mendekati nol. Biaya marjinal berbeda dengan biaya untuk mendapatkan pelanggan tertentu. Biaya ini serupa dengan Cost of Goods Sold (COGS) di perusahaan brick and mortar.

“Di perusahaan perangkat lunak, biaya paling umum yang terkait dengan biaya marjinal ini adalah biaya server dan kecuali itu adalah perusahaan Artificial Intelligence (AI), biaya ini dapat diabaikan. Jika startup memiliki keunggulan ini, ia dapat menerapkan model freemium di mana mereka dapat menawarkan produk paling basic secara gratis. Ini sejalan dengan konsep pemasaran untuk membawa produk ke tangan pelanggan,” kata Arya.

Tentu saja konsep berlangganan tidak eksklusif untuk konsumen bisnis.

“Menurut saya subscription ini tidak terbatas ke [konsumen] B2B tetapi hampir semua akan masuk ke area ini. Seperti yang CEO Zuora bilang, kita masuk ke masa subscription economy,” kata Yopie.

Hal senada diungkapkan Anton. Dirinya melihat provider TV kabel yang menyasar konsumen perorangan juga menerapkan model berlangganan ke pelanggannya. Set-up box ditawarkan di luar harga langganan paket channel TV dan di dalamnya juga tersedia menu video on demand.

Pada akhirnya, menurut Arya, setiap pelanggan memiliki persepsi sendiri tentang nilai produk. Pengalaman pengguna gratis juga berharga untuk mendorong startup mengembangkan model bisnisnya.

“Contoh yang bagus dari ini adalah LinkedIn. LinkedIn menawarkan LinkedIn Premium untuk menangkap pengguna yang bersedia membayar lebih banyak fasilitas, privasi, dan status. Namun, LinkedIn juga memonetisasi pengguna gratis dengan menawarkan alat perekrutan ke perusahaan,” kata Arya.

Sebagai investor, Arya melihat ke depannya tidak menjadi masalah, apakah startup tersebut menerapkan model freemium atau berlangganan. Yang penting adalah kemampuan startup mempertahankan pelanggannya (dengan tingkat churn rendah) untuk tumbuh secara berkelanjutan dan mendapatkan nilai tambah dari pelanggan.

Carsome Dapatkan Pendanaan Seri D 424 Miliar Rupiah, Segera Perluas Model Bisnis

Platform digital untuk penjualan mobil bekas Carsome hari ini (08/12) mengumumkan telah membukukan pendanaan seri D senilai $30 juta atau setara 424 miliar Rupiah. Investor yang terlibat meliputi Asia Partners, Burda Principal Investments, dan Ondine Capital. Sejauh ini menjadi all-equity financing terbesar dalam industri otomotif online di Asia Tenggara.

Setahun sebelumnya, tepatnya awal Desember 2019, Carsome mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai  $50 juta. Putaran ini didukung MUFG Innovation Partners, Daiwa PI Partners, Endeavour Catalyst, Ondine Capital, serta investor di putaran sebelumnya termasuk Gobi Partners dan Convergence Ventures.

Disampaikan oleh Co-Founder & Group CEO Carsome Eric Cheng, “Pendanaan ini akan kami gunakan untuk memperkuat model bisnis yang telah ada yaitu C2B, dan mempercepat mewujudkan model bisnis baru kami yaitu B2C. Kami berharap dapat meluncurkan C2B dan B2C pertama di Asia Tenggara untuk mobil bekas dan pengalaman ritel yang jauh lebih unggul.”

Sepanjang Covid-19, klaim Eric, perusahaannya berhasil meningkatkan pendapatan bisnis hingga 2x lipat dibandingkan periode sebelum pandemi. Per November 2020 atau sejak lima tahun didirikan, Carsome telah memfasilitasi sekitar 100 ribu penjualan mobil bekas. Ada peningkatan drastis yang berasal dari perilaku konsumen di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura.

“Carsome telah meraih profit per Oktober 2020, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya [..] Kami yakin pendanaan seri D terbaru ini akan membantu dalam aksi merger dan akuisisi ke depannya, untuk bisa lebih mengkonsolidasikan rantai pasokannya,” imbuh CFO Carsome Juliet Zhu.

Layanan Carsome memfasilitasi pengguna untuk menjual mobil bekasnya; untuk kemudian ditawarkan ke mitra dealer penjual mobil bekas. Dalam proses pembelian, mereka juga melakukan inspeksi mobil di 175 titik yang komprehensif. Model layanan serupa di Indonesia juga diadopsi pemain lain seperti OLX Auto dan Carro.

OLX Autos (sebelumnya BeliMobilGue) juga sempat mendapatkan perolehan pendanaan $30 juta pada Agustus 2019 lalu; melanjutkan pendanaan seri A senilai $10 juta yang didapat di tahun sebelumnya.

Pengembangan model bisnis

Soal perluasan model bisnis di luar C2B memang sudah beberapa kali disampaikan pihak Carsome, termasuk di Indonesia. Misi ini diperkuat pernyataan resmi Eric, yang akan segera menghadirkan model B2C di layanannya. Skema ini memungkinkan pengguna membeli mobil bekas dari mitra dealer yang terdaftar di aplikasi.

Pada kesempatan temu media, General Manager Carsome Indonesia Delly Nugraha menyampaikan, penambahan model bisnis memang tengah digodok internal Carsome. Ia menyampaikan, model C2B2C yang akan diaplikasikan termasuk di Indonesia.

Ambisi ini tak lain dilatar belakangi potensi pasar yang sangat besar. Studi terbaru Momentum Works mengatakan bahwa total nilai transaksi mobil bekas mencapai $600 juta; pihak Carsome mengatakan sudah berhasil menyumbang 1% di Asia Tenggara. Pasar di Malaysia, Indonesia, dan Thailand menyumbang sekitar 80% dari nilai pasar regional.

Beberapa pengembang platform digital di dunia juga telah mendapatkan traksi dan valuasi besar. Misalnya Cars24 di India, setelah mendapatkan pendanaan seri E senilai $200 juta mereka berhasil menyabet gelar unicorn. Status yang sama juga didapat Kavak di Meksiko; bahkan di Amerika Serikat platform Vroom berhasil mengumpulkan $468 juta dari penawaran umum perdana pada Juni 2020 lalu.

Application Information Will Show Up Here