MPC Jadi Identitas Baru PT Multipolar, Pertajam Fokus Investasi ke Industri Digital

PT Multipolar Tbk (MLPL), perusahaan yang memiliki fokus investasi pada sektor teknologi, ritel, finansial, serta digital milik Grup Lippo mengumumkan identitas barunya “MPC” serta transformasi strategi perusahaan untuk pertajam fokus ke ekonomi digital. Proses transformasi ini juga merupakan bentuk peningkatan komitmen perusahaan dalam mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.

Menurut laporan “e-Conomy SEA 2021” yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Co, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai $70 miliar di tahun 2021. Laporan yang sama juga memprediksi ekonomi digital Indonesia akan terus tumbuh hingga mencapai nilai $330 milar pada tahun 2030, menjadikan Indonesia salah satu pusat ekonomi digital terbesar di dunia.

Adrian Suherman selaku Group CEO MPC mengungkapkan bahwa transformasi ke sektor teknologi sebenarnya telah dimulai perusahaan sejak tahun 2015 melalui investasi strategis di berbagai startup teknologi seperti OVO, Sociolla, dan Ruangguru melalui berbagai tahap pendanaan, baik secara langsung maupun melalui Venturra, salah satu perusahaan portofolio MPC.

Selama beberapa tahun terakhir Multipolar telah berinvestasi dan menjalankan portofolio bisnis digital di Indonesia dan Asia Tenggara melalui Venturra Capital. Salah satu portfolio mereka adalah Carro, marketplace mobil bekas yang pada tahun ini resmi mendapatkan status unicorn — Venturra memimpin pendanaan Seri A mereka. Hingga saat ini, MPC telah berinvestasi pada lebih dari 50 perusahaan teknologi di Indonesia.

“Transformasi MPC juga semakin mempertegas kepercayaan dan komitmen perusahaan untuk dapat merangkul lebih banyak startup lokal maupun regional yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan dan membawa manfaat nyata bagi lebih banyak masyarakat Indonesia,” tambah Adrian.

Strategi dan target investasi

Dalam konferensi yang diadakan secara virtual, Adrian turut menjabarkan empat pilar utama yang digunakan perusahaan untuk mewujudkan visi perusahaan dalam memberdayakan lebih banyak perusahaan teknologi masa depan.

Pertama, perusahaan akan tetap fokus pada pendanaan startup tahap awal serta tahap lanjut. Dalam beberapa tahun ke depan, pasar modal Indonesia diprediksi akan didominasi oleh perusahaan teknologi. “Kami juga akan berpartisipasi dalam pra-IPO dan IPO market oleh perusahaan teknologi Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, perusahaan juga berada di jalur yang tepat untuk membantu digitalisasi perusahaan-perusahaan portfolio, serta meningkatkan peran sebagai mitra lokal pilihan bagi perusahaan teknologi berskala global. Dalam kesempatan ini, MPC turut mengumumkan dua joint venture dengan dua perusahaan global ternama.

Bersama Ping An, menghadirkan layanan p2p lending Ringan yang menyediakan pinjaman dana cepat (cash loan). Lalu bersama Luno memperkenalkan platform transaksi aset kripto bagi masyarakat Indonesia.

Memasuki penghujung tahun 2021, MPC turut membagikan rencana investasi perusahaan ke depannya. Perseroan seperti diketahui tengah menggenjot investasi baru di area futuristik. Dengan berbagai macam sektor yang berpotensi besar untuk tumbuh di tahun 2022, perusahaan mengarahkan fokus pada empat sektor utama, yaitu retail, teknologi, kesehatan dan digital bank.

Dalam mengevaluasi, membangun, mengembangkan, dan mendanai berbagai perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, MPC juga ditopang oleh dewan direksi berpengalaman luas. Selain Adrian Suherman, turut berperan beberapa nama yang tidak asing di dunia investasi seperti Rudy Ramawy, Fendi Santoso, Jerry Goei, dan Agus Arismunandar yang sebelumnya menjabat berbagai posisi kepemimpinan di perusahaan seperti Google Indonesia, Northstar Group, A.T. Kearney, OVO, dan Accenture.

Sebagai entitas yang juga telah terdaftar di bursa IDX, Multipolar dikenal memiliki lima kategori bisnis. Pertama, ritel konsumen yang terdiri dari PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), Timezone, Books & Beyond. Kedua, telekomunikasi terdiri dari PT Link Net Tbk (LINK), PT First Media Tbk (KBLV), PT Graha Teknologi Nusantara (GTN).

Ketiga, jasa keuangan terdiri dari PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU), Ciptadana, dan Sharestar Indonesia. Keempat, media, digital, dan teknologi terdiri dari PT Multipolar Technology Tbk (MLPT), VisioNet, Berita Satu Media Holdings, MBiz, Venturra, dDV, dan OVO. Kelima, industri terdiri dari Champion, PT Walsin Lippo Industries, dan NPI Mall Management.

Mengenal Kalbu, Platform yang Menawarkan Berbagai Layanan Terkait Kesehatan Mental

Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian dari masyarakat di Indonesia. Didukung dengan kehadiran platform teknologi yang fokus mengembangkan solusi terkait layanan kesehatan mental, salah satunya adalah Kalbu. Diluncurkan pada bulan Agustus 2021 lalu, Kalbu menyediakan platform yang menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.

Kalbu melihat adanya peningkatan isu kesehatan mental, terlebih sejak hadirnya pandemi Covid-19 di Indonesia yang menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan interaksi sosial, serta ketidakpastian Berdasarkan keterangan dari beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, satu psikolog biasanya menangani 1-2 pasien per hari, namun setelah pandemi meningkat jadi 8-10 pasien.

Hal ini pun diakui oleh Iman Hanggautomo, selaku Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu. Ia sendiri sudah merasakan manfaat luar biasa dari konsultasi dengan praktisi kesehatan mental selama kurang lebih dua tahun. Meskipun tanpa background yang kuat di dunia psikologi, Iman berharap dengan pengalamannya di dunia startup serta antusiasmenya terhadap kesehatan mental, Kalbu bisa menghadirkan solusi menyeluruh yang memfasilitasi berbagai kebutuhan terkait kesehatan mental.

Layanan yang ditawarkan Kalbu cukup beragam seperti online counseling dan online workshop dengan psikolog yang terbiasa menangani beragam isu kesehatan mental, seperti anak & keluarga, pendidikan, institusi, dan olahraga. Selain itu, platform ini juga bisa digunakan untuk tes minat dan bakat, IQ, kesiapan sekolah, juga psychotherapy untuk adiksi obat-obatan tertentu.

Menjaga kesehatan mental tidak hanya dengan konseling serta pemulihan jiwa, namun juga diiringi dengan pemeliharaan raga. Dalam platformnya, Kalbu juga menyediakan kelas-kelas pemulihan diri (self-healing) seperti meditasi dan hypnotherapy, juga pengembangan diri (self-development) dengan praktisi yang bersertifikasi.

Saat ini, Kalbu juga menawarkan model bisnis B2B yang menyasar institusi dan komunitas. Salah satu yang ditawarkan adalah Employee Assistance Program untuk setiap karyawan dapat menikmati sesi konseling kesehatan mental. Dari sisi komunitas, perusahaan juga telah bekerja sama dengan beberapa komunitas, salah satunya di bidang olahraga untuk pemeliharaan kesehatan mental atlet. Sejauh ini, sudah ada 15 psikolog profesional yang terdaftar dalam platform Kalbu dengan pengalaman lebih dari 5 tahun.

Selain bisnis model B2B, Kalbu menerapkan sistem monetisasi dengan memotong fee dari biaya per konseling sesuai kesepakatan dengan praktisi.

Layaknya konsultasi ke dokter spesialis pada umumnya, tarif konseling kesehatan mental sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, literasi yang masih kurang terkait pentingnya kesehatan mental membuat orang enggan merogoh kocek untuk konsultasi. Kalbu memasang tarif sekitar 300-350 ribu untuk satu sesi selama kurang lebih satu jam. Namun, timnya sedang mengusahakan untuk membuatnya lebih terjangkau di harga 150-200 ribu saja.

“Tantangannya adalah literasi kesehatan mental di masyarakat. Kami ingin membuat konsultasi dengan psikolog itu bisa jadi rutin seperti konsultasi ke dokter gigi. Kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar. Setiap bulan, kami juga mengadakan talkshow online membahas masalah yang terjadi di kehidupan sehari-hari,” jelas Iman.

Potensi pasar dan target ke depan

Iman juga mengungkapkan bahwa industri ini masih memiliki potensi yang sangat besar. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sementara Indonesia baru punya sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, negara ini diharapkan bisa mengoptimalkan jasa praktisi yang ada.

Di Indonesia, beberapa platform yang juga menawarkan konsep serupa dengan Kalbu adalah Riliv, Kalm, dan Bicarakan.id. Beberapa platform tersebut memiliki satu visi yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Layanan yang ditawarkan juga beragam dengan konseling sebagai core nya.

Dari sisi pendanaan, Kalbu telah mendapatkan dukungan modal dari salah satu perusahaan ternama Indonesia yang bergerak di bidang tambang. Meskipun secara bisnis terlihat tidak terkait, namun peran kuat perusahaan diharapkan dapat membantu memberi pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat.

Ke depannya, Kalbu berencana untuk menggunakan pendanaan ini untuk mengembangkan layanan kesehatan mental, memperkuat kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dan internasional, menghadirkan kembali suicide hotline, serta mendorong peran pemerintah juga berpartisipasi dalam pengembangan solusi mental health di Indonesia.

“Kami juga berencana meluncurkan aplikasi sendiri di semester 2 tahun 2022. Namun, kami juga harus memastikan bahwa layanan yang kami tawarkan sudah cukup kuat. Targetnya tidak muluk, 450-500 pasien per bulan untuk individu dan perbanyak klien B2B,” ujar Iman.

Konsep Co-Living Makin Diminati, Rukita Perbarui Aplikasi Targetkan Komunitas

Konsep hunian co-living menjadi semakin diminati, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Penyewaan kamar pribadi jangka panjang dengan fasilitas dan ruang bersama sebenarnya bukanlah konsep yang baru, hanya saja di sini lebih akrab dengan sebutan indekos. Indekos dianggap terjangkau dan praktis, terutama bagi kalangan profesional muda, karena lebih terjangkau dan terletak dekat area institusi atau perkantoran.

Salah satu pemain yang menyasar segmen ini adalah Rukita, sebuah startup penyedia layanan co-living yang diklaim sangat praktis dan cocok untuk profesional muda dalam mencari hunian siap pakai. Belum lama ini Rukita meluncurkan aplikasi terbarunya, menawarkan informasi lengkap untuk eksplorasi ketersediaan unit sewa kost atau apartemen di lokasi terdekat.

“Profesional muda akan lebih mudah melihat dan memesan unit properti hanya dari gawai pribadi, baik ponsel atau pun komputer, di mana pun dan kapan pun,” ungkap Co-founder & CEO Rukita Sabrina Soewatdy.

Selain menawarkan kamar serta berbagai kebutuhan terkait hunian bagi pelanggan, dalam update aplikasi terbarunya, Rukita menyediakan fitur baru, “Community” untuk mendorong tenant dan masyarakat luas terutama para profesional muda saling berinteraksi dan membangun relasi yang lebih baik. Fitur ini diharapkan bisa semakin memberikan pengalaman co-living yang lebih optimal.

“Di aplikasi Rukita, masyarakat terutama para milenial dapat mencari pilihan unit, memantau status pembayaran, mendaftarkan diri dalam kegiatan komunitas, berinteraksi daring melalui kolom komentar, hingga mengakses kumpulan artikel menarik yang memperkaya wawasan,” ujar Sabrina.

Selama kurang lebih dua tahun berdiri, Rukita berhasil meningkatkan kerja sama dengan lebih dari 20.000 properti dalam platformnya. Hunian ini tersebar di area-area padat sekitar Jabodetabek dengan rentang harga yang ditawarkan beragam tergantung fasilitas dan posisi yang menunjang.

Sejalan dengan komitmen untuk membangun bisnis yang berkelanjutan di sektor proptech, Rukita menerapkan model bisnis yang berinvestasi pada kapasitas manajemen properti dari hulu ke hilir, meliputi pemeriksaan dan penilaian bangunan sebelum proses transformasi, pemasaran & akuisisi penghuni, operasional, pemeliharaan properti, hingga pasca-penyewaan.

“Para profesional muda yang punya sambilan investasi properti kosan juga akan dimudahkan dengan bermitra dengan Rukita. Mereka bisa terus bekerja seperti biasa dan sambil mendapatkan passive income tanpa ribet, karena semua sudah dikelola dengan baik oleh Rukita.” tambahnya.

Tren co-living di masa pandemi

Sebagai alternatif baru, perkembangan bisnis hunian co-living mulai mengalami peningkatan di awal 2020, terutama di Jakarta. Ketika pandemi Covid-19 melanda, alih-alih menurun seperti layanan coworking space, peminat hunian co-living justru melonjak. Hal ini seiring dengan berkembangnya tren bekerja dari rumah (WFH) serta kesadaran masyarakat akan harga beli properti yang tinggi dan akhirnya lebih memilih untuk menyewa hunian yang lebih terjangkau untuk menekan biaya.

Hal ini sempat disampaikan oleh Co-founder & COO Rukita Sarah Soewatdy yang mencatat jumlah penghuni baru bertumbuh hampir 2,5 kali lipat pada akhir tahun 2020. Pasalnya, konsep hunian ini menawarkan kenyamanan dengan harga terjangkau dan fasilitas yang lengkap, bahkan telah menjadi pilihan para milenial dan kaum urban.

Meskipun begitu, tidak sedikit dari penghuni indekos yang berfikiran untuk meninggalkan hunian saat ini dan memilih untuk pulang ke kampung halaman atau kembali ke rumah. Mengingat sebagian dari mereka adalah perantau, yang ketika mendapat kabar WFH tanpa pikir panjang langsung berkemas. Hal ini sebagai salah satu upaya menghemat biaya hidup di kota.

Aplikasi sejenis di Indonesia

Populasi anak muda yang besar serta proses urbanisasi di Indonesia yang sangat cepat mendorong terjadinya pertumbuhan permintaan untuk model hunian co-living. Dalam segmen ini, Rukita tidak sendiri. Setidaknya ada empat platform lain yang menawarkan layanan sejenis di Indonesia, seperti Mamikos, Flokq, Travelio, Roomme, dan Cove yang berbasis di Singapura.

Aplikas Properti kelolaan Area Unduhan Rating
Rukita 20 ribu+ Jabodetabek 10 ribu+ 4.0
Mamikos 2 juta+ 140 kota 1 juta+ 4.5
Flokq Jabodetabek, Bali 1.000+ 3.9
Travelio 8.000+ 25 kota 1 juta+ 4.5
Cove 1.000+ (Jakarta) Singapura, Jakarta
Roomme 10 ribu+ Jabodetabek 50 ribu+ 3.4

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan real estat termasuk sektor bisnis yang tumbuh sepanjang kuartal I/2021. Data dari Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) juga menunjukkan bahwa apartemen siap huni menjadi salah satu subsektor yang paling terlihat pertumbuhannya. Sektor properti yang terus bertumbuh diproyeksi akan menjadi pendorong meningkatnya peluang bisnis co-living di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Pefindo Biro Kredit Luncurkan MyIdScore, Bantu Individu Bangun Reputasi Keuangan

Reputasi keuangan menjadi aspek penting yang menjadi indikator setiap lembaga keuangan untuk menyalurkan kredit bagi individu. Maka dari itu, penting bagi setiap individu untuk menjaga reputasi kredit agar tetap positif untuk bisa digunakan sewaktu-waktu ketika membutuhkan. Salah satu upaya menjaga reputasi kredit adalah dengan menjaga kepatuhan membayar angsuran atau cicilan tepat waktu.

Namun, ada kalanya ketika kita sudah patuh, masih ada kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian data. Maka dari itu, masyarakat dinilai perlu melakukan pengecekan secara berkala terkait informasi yang dilaporkan oleh lembaga jasa keuangan. Hal ini yang coba dimanfaatkan Pefindo Biro Kredit (PBK) dengan inovasi terbarunya MyIdScore. Platform yang menyajikan laporan kredit skoring untuk nasabah individu yang dapat diajukan dan diakses secara digital lengkap dengan laporan kredit historis.

Bertepatan dengan hari jadi PBK yang ke-7, Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit Yohanes Abimanyu mengungkapkan, “Kehadiran produk ini bertujuan untuk membantu masyarakat mengetahui tingkat kelayakan kredit mereka baik sebelum melakukan pinjaman atau sebagai bahan evaluasi. Produk ini juga dapat digunakan untuk memeriksa keakuratan dan keterkinian data debitur.”

Solusi B2C

Sebelumnya, kredit skoring identik dengan BI Checking — sekarang menjadi SLIK di OJK. Individu harus mengaksesnya secara manual melalui regulator dengan proses yang cukup rumit dan memperoleh informasi laporan kredit historis standar, tanpa kredit skor. Melalui solusi terbaru ini, MyIdScore menawarkan laporan yang lebih lengkap dengan akses yang lebih mudah.

Laporan ini menyajikan profil debitur, daftar fasilitas kredit yang pernah dan masih dimiliki hingga saat ini, detail fasilitas yang dimiliki, riwayat fasilitas kredit, saldo terutang selama 24 bulan terakhir, dan status kredit (macet/lancar) hingga kemungkinan gagal bayar dan informasi lainnya.

Ada tiga paket yang disediakan untuk mengakses layanan MyIdScore, yaitu free report (gratis 1x / tahun pertama), Silver Report (Rp75.000 untuk 1x pengecekan), Gold Report (Rp125.000 untuk 3x pengecekan dalam tiga bulan), atau Platinum Report (Rp175.000 untuk 3x pengecekan dalam satu tahun).

Skoring yang digunakan berkisar antara 250 hingga 900, yang berbanding lurus dengan reputasi keuangan/tingkat kelayakan kredit dan berbanding terbalik dengan profil risiko kredit. Makin tinggi skor, maka makin rendah risiko kredit dan makin besar kemungkinan kredit disetujui. Saat ini, MyIdScore juga sudah terintegrasi dengan SLIK OJK, sehingga informasi yang disajikan akan lebih akurat dan relevan.

Informasi yang dikeluarkan oleh MyIdScore ini bisa digunakan terhadap berbagai lembaga keuangan. Namun, dengan skor kredit yang positif sekalipun, pada dasarnya setiap lembaga keuangan mempunyai risk apetite masing-masing. Terkait hal ini, pihaknya menyampaikan bahwa informasi yang disediakan hanya bertujuan untuk mempermudah lembaga keuangan dalam analisis credit scoring.

Salah satu segmen yang disinyalir akan sangat terbantu dengan solusi ini adalah pekerja kreatif/informal. Salah satu aktris ternama yang hadir dalam peluncuran MyIdScore, Dian Sastrowardoyo membagikan pengalaman di masa awal karirnya sebagai pekerja seni yang permohonan kreditnya ditolak karena tidak bisa melengkapi syarat dokumen seperti slip gaji serta penghasilan yang tidak tetap. “Dengan adanya kredit skor yang praktis, kita jadi tahu apa yang harus kita perbaiki supaya nggak berkali-kali ditolak pinjamannya oleh bank”, ujarnya.

“Dengan memeriksa credit score, calon peminjam bisa mengukur tingkat kelayakan kreditnya dan seberapa besar peluang pengajuan pinjaman disetujui. Angka score dan track record seseorang merupakan rujukan dalam proses analisa kredit. Kalau credit score bagus, persetujuan kredit akan semakin mudah diperoleh,” ujar Abimanyu.

Direktur PBK Wahyu Trenggono turut menambahkan bahwa informasi ini merupakan tahap pertama. Ke depannya, perusahaan melihat potensi pengembangan lebih lanjut untuk angle lain. Tidak hanya berdasarkan riwayat perbankan namun juga melalui informasi seluler. Sebelumnya, Pefindo sudah lebih dulu merilis IdTelcoScore untuk analisis skoring kredit dari nomor seluler.

Proyeksi pertumbuhan kredit di Indonesia

Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2021 sebesar 4%-6% dan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6%-8%. Prakiraan kinerja penyaluran kredit tahun 2021 ini didukung oleh optimisme terhadap kondisi moneter dan ekonomi, serta relatif terjaganya risiko penyaluran kredit.

Berkaca pada tahun 2021, Yohanes menanggapi dengan adanya relaksasi atau pembukaan ekonomi, otomatis mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi dan kredit di Indonesia. Berdasarkan data dari OJK dan Bank Indonesia, proyeksi pertumbuhan kredit akan meningkat di angka 4%-7% di tahun 2022. “Melihat proyeksi pertumbuhan kredit yang semakin baik, kami berharap bisa membantu masyarakat menjaga reputasi keuangannya,” tambahnya.

Despite Xendit’s Unicorn Status, Moses Lo Still Concentrates on Building Organizational Fundamentals

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It is undebatable that working culture has a powerful influence on people when it comes to a decision to take a new job at one company. This is also what Moses Lo, Xendit’s Founder and CEO, grasped as he was working for a company or starting a new one. At Xendit, he always makes sure that the organizational fundamentals are met. He focused on building the internals in order for the company to better serve the externals as customers.

It was all about passion for Lo when he started this business, to create something that can drive the market for over 20 years. He built a gateway for payment to simplify and secure business transactions. With this idea, Xendit has become the first Indonesian startup to be accepted into the Y Combinator program.

Lo has already been exposed to technology at a young age. Growing up, he became interested in finance and banking stuff, along with the tech background, which led him to fintech. He graduated as an honor student of commerce, information system management, and finance at the University of New South Wales. Continuing his business saga, he attended Berkeley for a master’s degree in business. He had his experience working with two of the best companies, teaching him all that matters to enter the tech industry.

27-year-old Lo started Xendit in 2015, the company has grown multiples since then and is listed as an Indonesian unicorn this year. Today, Xendit’s infrastructure has been widely used by companies in Indonesia, the Philippines, and Southeast Asia.

Here’s an excerpt of our discussion with Moses Lo, Xendit’s front person, about his vision and achievements in the tech industry.

When did you start pursuing a career in the tech industry?

I have wanted to be in the tech industry since I was 13 or 14 years old. It involves a lot of playing computer games and building computers. So, I always wanted to do something about technology. Growing up, I got really interested in finance and banking stuff, then, I studied Information Systems in the University, which led me to fintech today. Afterward, I worked with Boston Consulting Group (BCG) and Amazon for a while before deciding to start my own company.

What was it like, your life before Xendit?

I come from a family of entrepreneurs. The reason I went to BCG was that they were really good at teaching you similar skills in business. They taught me how to think, how to present information well, how to speak to senior people, those who were older, and much more important than me. Those are really useful kits.

Then, I went to Amazon for a short period of time. Amazon, compared to the other companies, competed really hard for every inch of territory that they got. They won e-commerce in the US, they’re winning cloud services everywhere. They’re really good at this competitive space and I wanted to learn in a company that is very good at competing. In the meantime, I also learn how to build a scalable startup culture and how to build a very efficient cohesive team in executing business.

Xendit happens to be your first venture capital-backed company. Actually, what was the idea behind Xendit’s creation?

When we were starting Xendit, I noticed some things that happened in other countries. There is this small window of history where the companies that are built will define technology and business for the next 15 to 20 years. They set the rules for how technology works. Therefore, I wanted to come home and build infrastructure and set rules in a way that would be good for Indonesia and Southeast Asia for the next 20 years.

This is really exciting. I think of it like we’re building paved roads that once were dirt roads. We’re laying down infrastructure, therefore others can build businesses on top.

You’ve spent most of your life not in Indonesia. Aside from its great potential, what drives you to build a business in this country? How can you ensure to conquer this market?

I am, myself, half Indonesian. Although I didn’t spend most of my childhood here, I spent most of my adulthood in this country. It is more like my passion to build something in Indonesia, it just makes sense. Along the journey, I also found some good friends I really wanted to build with. I didn’t think we were gonna conquer. I didn’t think we knew we were gonna win. It was just something we were so passionate about. It started out with passion above anything else.

This year, Xendit has achieved unicorn status. Have you ever thought about Xendit being a unicorn before?

I think “unicorn” or valuation is a lagging indicator of value that we can provide the world, so I never thought of us becoming a unicorn.

I thought about whether we can make something that scales to have a positive impact for millions and millions of people over the next 10 to 20 years. And if we can make it, valuation will certainly follow.

I never really cared about unicorn status, and the thought remains. What I really care about is, are we able to provide value to customers, because that’s what matters most. If we stay on that true path, everything else will follow. I do think about valuation, but not as a mark for some milestones or something to chase. It is just part of the business. I spend most of my time thinking about products, customers, and Xendit people.

What do you think is the most essential value a company should have in order to reach sustainability in this tech industry?

It’s really simple, everything (tech, product, sales) comes down to people. It’s all a reflection of our people. For me, the most important thing is to build an organization that can attract and retain the right people. Product is important, yes, but it is a function of the people who build it, it also applies to sales and customer service.

I spent a lot of my time thinking about the organization itself, the people in it, the culture we breathe, the way we make decisions. Once we get that right, everything else, even if I didn’t control the decision-making down the line, will work out.

Culture is what attracts and retains people in the long run. It’s not only about table tennis and food, which we have. It’s mainly about decision making, the sailors you build, how you get rid of politics in organization, the recruitment process, the compensation settlement and so on. Culture was built upon the answers of all these kinds of big questions.

Since Xendit’s most valuable asset is its people, do you have a certain approach while recruiting people?

Do you know underdogs that were willing to work hard? A lot of us do not come from the best “something”, but we have something to prove to the world and we’re happy to work hard. We really care about the culture and how we build and maintain the organization.

If I have to break it down into parts, the first one is culture fit. It includes hardworking, friendly, helpful, no politics, or the underdog’s stuff. Furthermore, the work ethic. We are aware of the fact that a lot of people don’t know anything about the payment. In Xendit, we have everything for you to learn. Also, we have what we call Trial Day as part of our recruitment process. I think this one is not applied in most companies. We’ll have you work with us for a whole day, with real problems. Instead of being interviewed, they will have the opportunity to interview Xendit people. This way they will know how it feels to work at Xendit.

Xendit’s early team / Xendit

What kind of challenges do you encounter along the journey?

Lots of challenges, one of the hardest ones is recruiting when you’re small. It’s long before you’re a big company with a highly reputable business. No one knows who you are. We developed a model where we hired a group of friends. Our first ten hires were actually a group of friends that were given an office for engineering. In my calculation, maybe one or two will stay, but instead, all 12 people joined. For the first few years, all our engineers were basically two groups of friends. We’re very purposeful for hiring pockets of friends wherever we can, that is also the very beginning of our team in some countries.

Xendit has been providing payment infrastructure and already exists in Indonesia and the Philippines. How do you see the market potential and possibility to expand?

When we look at payment or the merchant payments side, we’re still quite premature. The Indonesian digital payment percentage is still less than 10% of the total GDP compared to China or the US, which is closer to 10-15%. I think we have multiple orders of magnitude, there’s still massive growth left in every corner.

The way I look at it, the opportunity in front of us is bigger than the opportunity that we’ve seen so far. This is a pretty exciting place to be and we’re in a very good position to be the top one or two players in Southeast Asia.

I found a website containing some of your writings. Should I assume you like to write in your free time or do you have other kinds of hobbies?

The reason I did those is, I kept it more as a note for myself. Mostly, I write things that I believe at that time and I wanna see if that’s still true a few years later. It’s to measure myself and see if I make the right decision. Another reason is, a lot of people tend to ask me the same questions and I noticed that I’m answering the same question over and over again. I figured, if I just put it out there, people can simply read and that knowledge can spread faster.

At Xendit, we hung out a lot together, we did travel, trips, and everywhere. We really enjoy each other’s company even outside the workplace. That’s also how we build connections.

There’s a phenomenon in the tech industry where Founders are starting to enter the market as an investor. What do you think of this? Do you think as a Founder, you are also obliged or just naturally grow interested in investing?

I think the obligation is not necessarily to invest, but the obligation is to help. I don’t think it’s just the founders, they may have a lot of press and the credit. I think any early employee at a company, those who’ve built businesses have an obligation or at least a desire to pay it forward. Something I really love doing is helping new entrepreneurs trying to figure out how to raise money, deal stuff with the boards, or find product-market fit.

One thing I observed when I lived in the U.S. was, Silicon Valley, one of the best things has, is the freedom of high-quality information between people. Whereas in Asia, when we have a good idea, traditionally, we want to keep it to ourselves because we’re scared someone will copy us and take it away. We try to own things. I want that culture to change into a more sharing culture instead of keeping ideas for yourself.

The obligation is for founders to help other founders. Investing comes as a byproduct, I try to do as little investment as possible because I love my normal job. I think Investing can be somewhat distracting. I do it a lot for Xendit or on behalf of Xendit. It’s quite a different approach from other founders.

As one of the first Indonesian startup graduates in YCombinator, what do you think is the important role of accelerator programs to early-stage startups?

We’re the first Indonesian company in YCombinator, so I’m proud of that. YC is extremely helpful for early-stage companies. I don’t know every accelerator so I cannot say for every accelerator. But I can say that YC is an extremely effective accelerator. To begin with, in terms of dealing with the pressure cooker of hanging out with the best company on earth. Also, YC gives some of the best advice, as it is run by people who actually built a business before. Another thing is YC has built the best network effect; the best companies attract the best investors and vice versa.

Xendit is the first Indonesian company in YCombinator

In terms of accelerators, I think all entrepreneurs have to ask themselves, ‘what do I really need?’ and ‘does it provide that to me?’ Not all accelerators can be really good at pressure cookers and capable of bringing you the billion-dollar investors. It all depends on the founder’s need and the accelerator’s quality.

As an experienced entrepreneur, what can you share about the struggle and survival story for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

I have three things to say. First, find product-market fit. Most entrepreneurs already have a product in mind and hope that they can sell it. However, on the way to get product-market fit, more often you fall in love with the customer problem and you feel the urge to solve it. That’s one of the best ways to find product-market fit.

Next, your first ten people will define the culture for the next thousands. I see things that happened now at Xendit, which I have no control over anymore. As we don’t control what someone does in a small team now that we’re hundreds of people big. The culture propagates and replicates itself. Hence, I don’t think people are conscious enough about that early on.

The third, in terms of struggle and survival, is to find yourself the mentors. In my case, I have a mentor for each category, 2 years ahead, 5 years ahead, and 10 years ahead. I think that’s really helpful in my journey. The 2-year mentor can give me a sense of what I need to do tomorrow, the ten-year mentor can say “Make sure you make the right big decision!”, “Which industries do you want to build the startup in?”. Then, the five-year-ahead mentor can give you a little in between of both in terms of my plan for the next five years and so on. I always try my best to maintain these three buckets of mentors.

BRI Ventures to Launch a New Fund “Sembrani Kiqani”, Targeting D2C Sector

After launching the Sembrani Nusantara Venture Fund last year which focuses on early-stage startups funding, BRI Ventures (BVI) is to launch another investment vehicle named “Sembrani Kiqani”.It is still targeting the early-stage startups, but rather focuses on consumer brands targeting the direct-to-consumer (D2C) sector.

BVI’s CEO, Nicko Widjaja, in his opening remarks at the BRI Ventures Networking Day (23/11) mentioned the potential of the D2C sector growth in Indonesia for the fashion, F&B, and beauty segment. He said, this sector is capable to drive the current industry, especially amidst the economic recovery from the Covid-19 pandemic.

Marcel Lukman, owner of one of the well-known retail groups 707company, also one of the Partners at Sembrani Kiqani said that apart from D2C, this managed fund is also targeting the blockchain industry and its derivatives related to cryptocurrencies. BVI alone is planning to strengthen its investment to develop the crypto ecosystem in the country.

Previously, through Sembrani Nusantara, BVI has invested in the beverage brand developer Haus!, which is also its first non fintech portfolio. They disbursed around 30 billion Rupiah in the debut fund for startup. In addition, the local shoe product developer Brodo also received funding through its series A round.

Indonesian D2C industry

Retail is one of the industries that highly contributes to the national economy. However, the Covid-19 pandemic that shaken this industry’s resilience had caused many businesses to change strategies or even give up on the situation. The one strategy being used is currently to directly target the consumers or direct-to-consumer (D2C).

According to data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, it is considered a must for brand owners to have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

In Indonesia alone, there are already several startups have adopted the D2C concept, including Brodo and Saturdays (fashion), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), as well as the retail group startup Hypefast which focuses more on being a venture builder. VCs such as East Ventures are also targeting this sector, proven by its two newest portfolios, mohjo and Kasual.

Blockchain invesment

In early 2010, perhaps not many people understood the concept of blockchain and its utility in the technology industry. Today, discussions regarding crypto assets that run on blockchain platforms are heard everywhere both in the real world and on social media. However, the crypto ecosystem in Indonesia is quite premature and still requires in-depth education.

In an effort to develop the crypto ecosystem in Indonesia, BRI Ventures in collaboration with Tokocrypto, is planning a new initiative called the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). The first blockchain project is targeted to be launched in 2022.

In addition to crypto assets, a product that is currently captured the market, especially among tech enthusiasts, is NFT. As one of the unique digital assets, all types of media can be printed or tokenized and converted into NFT. This product has been available in various industries from digital art, virtual real estate, also collectibles, games, and many more.

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

There are several NFT marketplace platforms available in Indonesia, including TokoMall, Kolektibel, and Paras Digital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Grab Ventures Velocity x Sembrani Wira Loloskan 6 Startup, Fokus Digitalisasi UMKM

Pada bulan Juni 2021 lalu, Grab dan BRI Ventures mengumumkan peluncuran Grab Ventures Velocity (GVV) Batch 4 x Sembrani Wira, sebuah proyek yang menyatukan program akselerator Grab dan BRI Ventures untuk mendukung pengembangan startup di Indonesia.

Setelah kurang lebih 16 minggu mengikuti serangkaian pelatihan dan pendampingan yang melibatkan pakar dari berbagai industri, akhirnya terpilih 6 startup terbaik yaitu Cooklab, Crewdible, Dagangan, iSeller, majoo, dan Octopus. Masing-masing startup memiliki solusi representatif yang fokus untuk mendukung perkembangan sektor UMKM di Indonesia.

Selama menjalani program pelatihan, tiga di antaranya telah berhasil mendapatkan pendanaan. Startup pengembang POS iSeller berhasil mengumpulkan pendanaan pra-seri B senilai 120 miliar Rupiah, social commerce Dagangan mengantongi 163,7 miliar Rupiah di putaran seri A, dan layanan omnichannel untuk UMKM majoo dengan putaran pra-seri A senilai 56,6 miliar Rupiah .

Dalam program yang mengangkat tema ‘Scaling Up Together: Empowering Startup, Supporting Micro Entrepreneurs’ ini, para finalis telah melakukan uji coba produk dan ide bisnis melalui kolaborasi dalam ekosistem Grab, mulai dari GrabKitchen, GrabFood, GrabMart, hingga GrabExpress untuk menghadirkan solusi bagi UMKM.

“Keenam lulusan batch 4 menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam kontribusinya untuk UMKM di Indonesia. Mereka telah melalui program uji coba di ekosistem Grab dan akan terus melanjutkan kolaborasi dengan kami. Grab juga berterima kasih kepada BRI Ventures yang senantiasa mendukung program ini,” ujar Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi.

Anthony Tan sebagai Group CEO & Co-Founder Grab turut terlibat dalam acara Impact Day, di mana para finalis melakukan presentasi dan perkenalan ide bisnis kepada jaringan venture capital, diikuti dengan sharing session. Setelah lulus, keenam startup tersebut memperoleh kesempatan untuk terus melanjutkan kolaborasi dengan layanan Grab, salah satunya adalah dengan menyediakan layanan di Solusi Mitra GrabMerchant.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, “BRI Ventures sangat senang dapat menjadi bagian dalam program GVV Batch 4 X Sembrani Wira untuk memberikan dukungan dari segi jaringan, mentorship, dan juga akses terhadap pendanaan modal ventura bagi para finalis ini [..] dan hari ini kami melepas para finalis dengan harapan bahwa manfaat yang didapatkan selama mengikuti program akselerator dapat membantu mereka untuk berkembang semakin jauh lagi.”

Fokus digitalisasi UMKM

Dalam rilis yang dibagikan, Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia turut mengungkapkan antusiasme atas kelulusan 6 startup finalis GVV Batch 4 x Sembrani Wira. Ia turut menyampaikan bahwa pemerintah telah menargetkan adanya 30 juta UMKM digital hingga tahun 2024.

Melalui pidatonya, (16/8), Presiden RI juga menyebut pemerintah terus mendorong pengembangan ekosistem ekonomi digital untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Digitalisasi UMKM yang masuk ke aplikasi e-commerce dan marketplace jumlahnya terus bertambah. Sampai Agustus tahun ini, sudah lebih dari 14 juta UMKM atau 22% dari total UMKM yang sudah bergabung dengan aplikasi perdagangan elektronik.

Saat ini, semakin banyak inisiatif yang dilancarkan untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM di Indonesia. Mulai dari aplikasi Point of Sales (POS), layanan social commerce, pencatatan keuangan digital, serta banyak lagi perusahaan yang semakin menajamkan fokus untuk mendukung digitalisasi UMKM.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menambahkan, “Startup digital menjadi salah satu kunci percepatan transformasi digital di Indonesia. Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari seluruh komponen bangsa untuk mendukung dan memperkuat tumbuh kembang ekosistem startup nasional.”

Dari sisi investor, BRI Ventures sebagai unit investasi bank BRI dengan UMKM sebagai strategi utama mereka, baru saja mengumumkan dana kelolaan baru ‘Sembrani Kiqani‘ yang fokus menyasar segmen D2C demi menyempurnakan ekosistem UMKM di Indonesia. Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus! dan pengembang produk sepatu lokal Brodo.

BRI Ventures Segera Luncurkan Dana Kelolaan “Sembrani Kiqani” untuk Startup D2C

Setelah tahun lalu meluncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara yang fokus mendanai startup tahap awal, BRI Ventures (BVI) kembali akan menghadirkan kendaraan investasi mereka yang diberi nama “Sembrani Kiqani”. Masih dengan misi untuk mendanai startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C).

Dalam kata sambutannya di acara BRI Ventures Networking Day (23/11), CEO BVI Nicko Widjaja juga menyinggung tentang potensi pertumbuhan sektor D2C di Indonesia yang kian meningkat baik di bidang fesyen, F&B, dan kecantikan. Menurutnya, sektor ini mampu menjadi penggerak industri terutama di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Marcel Lukman, pemilik salah satu grup ritel ternama 707company, juga salah satu Partner Sembrani Kiqani turut menyampaikan, selain D2C dana kelolaan ini juga ditargetkan untuk menyasar industri blockchain serta turunannya yang terkait dengan cyptocurrency. BVI sendiri tengah berencana memperkuat investasi untuk mengembangkan ekosistem kripto di tanah air.

Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus!, yang juga menjadi portofolio pertama mereka di luar fintech. Dana yang dikucurkan mencapai 30 miliar Rupiah untuk debut ke startup. Selain itu, pengembang produk sepatu lokal Brodo juga mendapat suntikan dana dalam putaran seri A mereka.

Industri D2C di Indonesia

Ritel merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang daya tahan industri ini menyebabkan banyak usaha harus mengubah strategi bahkan menyerah dengan situasi. Salah satu strategi yang sedang ramai digunakan adalah dengan langsung menyasar konsumen atau direct-to-consumer (D2C).

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang mengadopsi konsep D2C ini termasuk Brodo dan Saturdays (fesyen), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), juga startup grup ritel Hypefast yang fokusnya lebih menjadi venture builder. VC seperti East Ventures juga semakin gencar menyasar sektor ini, termasuk dua portfolio terbaru mereka mohjo dan Kasual.

Investasi di industri blockchain

Di awal tahun 2010, mungkin belum banyak orang yang mengerti konsep blockchain serta utilitasnya dalam industri teknologi. Dewasa ini, pembahasan terkait aset kripto yang dijalankan di atas platform blockchain semakin marak terdengar baik di dunia nyata maupun media sosial. Meskipun begitu, ekosistem kripto di Indonesia masih terbilang prematur dan membutuhkan edukasi mendalam.

Dalam upaya mengembangkan ekosistem kripto di Indonesia, BRI Ventures bekerja sama dengan Tokocrypto, sedang merencanakan inisiatif baru yang dinamakan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Proyek blockchain pertama ini ditargetkan untuk bisa segera meluncur di tahun 2022.

Selain aset kripto, produk yang juga tengah digandrungi masyarakat, terutama di kalangan penggiat teknologi, adalah NFT. Sebagai salah satu aset digital yang terbilang unik, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT. Produk ini sendiri telah hadir di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi.

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Beberapa platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia termasuk TokoMall, Kolektibel, dan Paras Digital.

Gojek dan TBS Umumkan “Electrum”, Babak Baru Ekosistem Kendaraan Listrik di Industri Ride Hailing

Meningkatnya tren kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) telah mendisrupsi sektor transportasi secara global. Di Indonesia sendiri, teknologi ini sudah mulai muncul dan berkembang. Bukan hanya dari pemerintah, namun juga perusahaan dari berbagai industri terkait ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekosistem kendaraan listrik ini.

Perusahaan ride hailing Gojek dan perusahaan energi terintegrasi TBS Energi Utama melalui PT Karya Baru TBS resmi mengumumkan kerja sama dalam membentuk usaha patungan atau joint venture (JV) bernama Electrum. Ini menjadi kolaborasi strategis pertama di Indonesia sekaligus dukungan terhadap rencana pemerintah dalam menjadikan pengembangan industri EV sebagai prioritas nasional.

Melalui perusahaan patungan tersebut, Gojek dan TBS akan mengembangkan usaha bisnis dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Bagi Gojek, kolaborasi strategis ini menjadi bagian dari upaya mewujudkan komitmen Sustainability Grup GoTo “Zero Emissions” (Nol Emisi Karbon). Gojek menargetkan menjadi platform karbon-netral dan mentransisi menjadi 100% kendaraan listrik di tahun 2030.

“Kami berharap upaya ini dapat mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan berkontribusi kepada penanggulangan perubahan iklim di Indonesia. Kendaraan listrik merupakan masa depan bagi sektor transportasi dan kami memastikan hal tersebut dapat terwujud lebih cepat melalui kolaborasi ini,” ujar CEO Gojek, Kevin Aluwi.

Sebelumnya, Gojek juga telah mengumumkan kerja sama strategis dengan Gogoro, perusahaan teknologi global di ekosistem baterai swap, untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Dilanjutkan dengan uji coba komersial pemanfaatan 500 unit motor listrik di Jakarta Selatan, yang skalanya akan terus ditingkatkan hingga 5.000 unit dengan jarak tempuh 1 juta kilometer dalam platform Gojek.

Terkait kolaborasi ini, Pandu Sjahrir, selaku Wakil Direktur Utama TBS menyampaikan, “Kolaborasi dengan Gojek ini merupakan salah satu bagian dari komitmen reinvestasi pendapatan usaha TBS ke sektor energi bersih dan energi baru dan terbarukan [..] Pengalaman dan pemahaman kami di bidang energi bersama dengan ekosistem dan teknologi Gojek yang luas, bisa menjadi katalisator pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.”

Potensi kendaraan listrik di Indonesia

Sebelum pandemi Covid-19 mengguncang berbagai macam industri, termasuk otomotif, kendaraan listrik tengah menjadi sorotan. Menurut laporan Deloitte, penjualan tahunan gabungan kendaraan listrik baterai dan kendaraan listrik plug-in hybrid mencapai angka dua juta kendaraan untuk pertama kalinya di tahun 2019.

Meskipun sempat terhambat oleh pandemi, terjadi pola pertumbuhan yang berkelanjutan yang diharapkan dapat dipertahankan di tahun 2020 ke depan. Indonesia sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk memasuki era kendaraan listrik yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.

Dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik, baterai menjadi komponen penting yang menyumbang 35 persen dari biaya produksi. Meningkatnya kebutuhan baterai kendaraan listrik dinilai akan mendukung peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.

Menurut laporan Deloitte, perkiraan EV global untuk tingkat pertumbuhan tahunan gabungan adalah mencapai 29 persen selama sepuluh tahun ke depan: Total penjualan EV tumbuh dari 2,5 juta pada tahun 2020 menjadi 11,2 juta pada tahun 2025, kemudian mencapai 31,1 juta pada tahun 2030.

Pemerintah Indonesia juga tengah berupaya menjadi pusat produksi kendaraan listrik di kawasan dengan target produksi 600.000 mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah mengembangkan proyek konversi sepeda motor bekas menjadi kendaraan listrik. Pengembangan proyek ini telah diuji coba pada 10 kendaraan. Pemerintah juga telah melakukan pendekatan dengan industri untuk memproduksi baterai dan konverter dengan harga murah. Hal ini diyakini akan mempercepat pengembangan proyek tersebut.

Dari sisi transportasi umum, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) turut menargetkan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) untuk bisa sepenuhnya menggunakan bus listrik pada 2025. Wacana tersebut telah dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020-2030. Uji coba pengoperasian bus listrik Transjakarta telah diadakan sejak tahun lalu melibatkan dua merek bus asal China.

Dari industri ride hailing, Gojek bukan satu-satunya yang memiliki inisiatif dalam hal mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Kompetitor utamanya, Grab, juga sudah lebih dulu mengumumkan uji coba kendaraan listrik roda empat dan dua di Jabodetabek.

Grab juga upayakan kendaraan listrik

Rival utama Gojek, yakni Grab, juga terus menggencarkan inisiatif ke EV. Salah satunya mereka bermitra dengan Hyundai Motor Group juga meluncurkan program percobaan kendaraan listrik baru untuk memungkinkan kepemilikan kendaraan listrik yang terjangkau dan mudah diakses, sembari juga mengembangkan peta jalan untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Asia Tenggara. Selain itu mereka juga mulai bekerja sama dengan beberapa produsen kendaraan roda dua elektrik, termasuk produsen lokal seperti Gesits dan Selis hingga produsen multinasional seperti Hyundai, Honda, Viar, dan Kymco.

Infrastruktur baterai juga dibangun bersama dengan perusahaan BUMN, PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan Pertamina, perusahaan bahan bakar BUMN untuk menghadirkan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum tersedia di SPBU Pertamina di Rawa Bokor, Jakarta. Kerja sama tiga arah itu berupa dukungan listrik PLN dengan tarif khusus; lokasi dan izin Pertamina, aplikasi dan pengoperasian pengisian daya serta Alat Pengisian Daya Kendaraan Listrik Grab bagi pengguna kendaraan roda 4 umum untuk mengisi daya kendaraannya.

Application Information Will Show Up Here

Fokus danabijak Setelah Perolehan Lisensi dan Pendanaan External

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat menyebutkan bahwa fintech lending termasuk industri yang tergolong cepat pulih di masa pandemi ini. Studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2020 menunjukkan pertumbuhan volume transaksi sebesar 11% dan jumlah transaksi sebesar 13% pada perusahaan fintech global secara agregat.

Dalam rilis yang dikeluarkan Kominfo terkait industri fintech lending di Indonesia bulan Agustus lalu, disampaikan distribusi pinjaman yang diberikan sampai dengan Juni 2021 sudah menjangkau 25,3 juta masyarakat dengan total penyaluran dana sebesar Rp14.793 triliun.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang belum dapat pendanaan dari bank (unbanked) dan potensial untuk digarap perusahaan fintech. Salah satunya, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang belum terintegrasi dengan ekosistem digital.

Di Indonesia, sudah ada beberapa pemain yang menyasar pasar mikro seperti ini, sebut saja Modalku, Investree, Akseleran, juga danabijak yang pada tanggal 8 September 2021 lalu resmi mengantongi lisensi dari OJK.

Lisensi OJK

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, menurut pihak danabijak, OJK sedang berupaya keras untuk membangun industri jasa keuangan yang terukur (scalable) dan berkelanjutan.

Dalam upaya mereka baru-baru ini, OJK memberi tekanan lebih untuk menutup platform pinjaman fintech ilegal yang menyebabkan banyak masalah untuk pengguna dan industri, dan mereka terus mengatur batas suku bunga maksimum (interest rate cap) untuk menawarkan layanan yang lebih baik kepada para pengguna.

Sepanjang tahun 2021, sudah ada 42 fintech lending yang mengembalikan tanda terdaftarnya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini membuat jumlah pemain fintech di tanah air tinggal 107 pemain per 8 September 2021.

CEO danabijak Markus Prommik mengungkapkan, “Dengan maraknya kehadiran pinjaman online yang ilegal, lisensi resmi dari OJK yang sudah didapat ini tentunya akan memperkuat posisi danabijak sebagai perusahaan fintech yang legal, kredibel dan dapat dipercaya oleh masyarakat luas.”

Dengan ini, perusahaan melihat bahwa pasar fintech sedang mengalami perubahan dan akan menyesuaikan bisnis untuk terus memenuhi kebutuhan pengguna seperti membangun produk-produk keuangan digital yang disesuaikan dengan setiap segmen pengguna sebagai bentuk komitmen terhadap inklusi keuangan di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis

Setelah tiga tahun beroperasi, startup lending yang fokus pada pinjaman yang bersifat mikro ini berhasil mencatat pertumbuhan sebesar 4,5 kali untuk angka disbursement bulanan dalam waktu kurang dari setahun di tengah pandemi. Secara keseluruhan, perusahaan telah menyalurkan lebih dari 300,000 pinjaman ke lebih kurang 100,000 peminjam konsumtif dan produktif di Indonesia dan mempertahankan TKB90 di angka 95,55%.

Perusahaan mengakui, sumber dana yang digunakan kebanyakan datang dari institutional lender baik dari Indonesia maupun luar negeri. Namun, perusahaan belum bisa mempublikasikan informasi terkait jumlah dan institusi apa saja yang telah menyalurkan dana melalui platformnya.

Terkait penyaluran bulanan, saat ini danabijak telah menyalurkan lebih dari US$ 2,000,000 setiap bulannya “Target kami selanjutnya adalah mencapai US$ 10,000,000 penyaluran bulanan pada 2022.” tambah Markus

Terdapat berbagai metode pencairan dan pelunasan pinjaman dalam model bisnis fintech lending. Platform danabijak mengizinkan para penggunanya untuk melakukan pelunasan lebih awal tanpa biaya penalti guna menawarkan fleksibilitas serta menjadikan pinjaman sesuai dengan kebutuhan setiap pengguna.

Semua proses ini dijalankan secara aman sesuai dengan standar industri serta jaminan keamanan data pengguna yang ketat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Perusahaan juga menyediakan berbagai opsi seperti perpanjangan, restrukturisasi atau perubahan pada jadwal angsuran sehingga masyarakat dapat memahami kemampuan dalam membayar angsuran, mengatur pengeluaran bulanan mereka serta menerapkan literasi keuangan yang baik.

Selain itu, salah satu proposisi nilai yang ditawarkan danabijak yang membedakan dari perusahaan P2P lainnya adalah fokus kepada kesejahteraan finansial (financial well-being) dari seluruh pelanggan. Perusahaan saat ini masih fokus untuk menggarap kelompok underbanked dan pelaku UMKM.

Markus turut menyampaikan, “Kami juga selalu membagikan ilmu finansial dan memberikan pendidikan kepada setiap peminjam mengenai manajemen keuangan yang baik. Melalui produk digital finance, kami menemani pelanggan membangun sejarah kredit yang baik agar mereka dapat meningkatkan kehidupan mereka.”

Target ke depan

Ketika disinggung mengenai rencana ke depan, timnya mengungkapkan bahwa visi dan tujuan utama perusahaan adalah untuk mempercepat akses kredit bagi 5 juta orang dan bisnis di Indonesia pada tahun 2025.

Dari sisi pendanaan, danabijak telah mengamankan pendanaan dari GK Plug and Play, buah dari program akselerator yang diikuti pada tahun 2018. Di pertengahan tahun 2021, perusahaan disebut telah membukukan pendanaan dari beberapa investor, di antaranya adalah Kristjan Kangro (CEO dari Change Invest), serta investor baru seperti Walter Marke de Oude (Founder & Chairman dari Singlife).

“Kami menginvestasikan dana dari hasil fundraising untuk mendorong pertumbuhan, pengembangan produk, dan peningkatan data science untuk menunjang kredit skoring. Sebagai contoh, saat ini kami sudah meluncurkan beberapa produk baru (contoh: Pinjaman cicilan 3-12 bulan) dan meningkatkan kapabilitas kredit skoring.”

Mengenai rencana masa depan, danabijak mengaku akan terus membentuk kemitraan, dalam hal layanan teknologi, dengan berbagai lembaga keuangan, bank, perusahaan pembiayaan (multi-finance), dan perusahaan teknologi. “Kami percaya bahwa kolaborasi dan upaya membangun sebuah ekosistem yang menguntungkan semua orang merupakan kunci untuk pertumbuhan dan perkembangan Indonesia,” tutup Markus.

Application Information Will Show Up Here