Kencangkan Kolaborasi dengan Portofolio, BRI Agro Kini Jadi Lender Institusi TaniHub

Startup agritech TaniHub Group mengumumkan kolaborasi bisnis dengan BRI Agro demi meningkatkan kesejahteraan petani dengan pemberian akses pendanaan, sarana produksi, hingga jaminan penjualan hasil pertanian.

Dalam keterangan resmi, sebagai langkah awal dari kolaborasi ini, anak usaha TaniHub yang bergerak di p2p lending TaniFund akan mendapat akses pembiayaan dan pengadaan sarana distribusi kepada para petani dengan menyalurkan kredit dari BRI Agro. Hal ini sekaligus menandakan BRI Agro sebagai salah satu jajaran lender institusi yang bergabung di TaniFund.

Oleh karena itu, para petani binaan TaniFund dapat membeli bibit, pupuk, hingga sarana produksi lainnya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas produk mereka. Harapan besarnya, melalui pendekatan digital, petani dapat membeli berbagai kebutuhan produksi bersubsidi melalui aplikasi ataupun laman situs TaniHub.

Sebelumnya BRI Agro juga melakukan kerja sama serupa dengan Modal Rakyat (perusahaan di bawah naungan Fazz Financial). Seperti diketahui, baik TaniGroup ataupun Fazz Financial merupakan portofolio dari BRI Ventures.

CEO TaniHub Group Ivan Arie Sustiawan menuturkan, kemitraan antara kedua perusahaan ini dapat membawa peran besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia melalui akses pembiayaan. “Petani tidak perlu lagi khawatir mengenai salah satu masalah terbesar mereka, yakni akses permodalan. Bahkan dengan ekosistem TaniHub Group, para petani juga mendapatkan jaminan pasar,” ujarnya, Rabu (6/1).

Direktur Utama BRI Agro Ebeneser Girsang menambahkan, “Kami melihat TaniHub Group merupakan partner yang tepat bagi kami melihat inovasi dan pengalaman mereka sebagai perusahaan agritech yang sudah berdiri sejak tahun 2016.”

Sektor pertanian, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), mengalami pertumbuhan positif pada kuartal III 2020, yakni tumbuh 2,15% YOY. Pada kuartal sebelumnya juga naik 2,19% YOY. Peningkatan tersebut mengindikasikan sektor ini punya peran besar terhadap pertahanan ekonomi di Indonesia.

Dalam tulisan sebelumnya, selama ini TaniFund mayoritas masih mengandalkan lender ritel dalam menyalurkan pembiayaan kepada para petani binaannya. Padahal kebutuhan pembiayaan lambat laun terus tumbuh. Perusahaan baru didukung oleh dua bank, tanpa menyebut identitasnya.

Direktur TaniFund Edison Tobing menuturkan bank rata-rata masih menganut konsep konvensional karena selalu menanyakan apa jaminannya. “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Mengutip dari situs TaniFund, hingga kini perusahaan telah menyalurkan pinjaman lebih dari Rp178 miliar dengan tingkat keberhasilan 90 (TKB90) sebesar 100%.

Application Information Will Show Up Here

Penjualan Mobil Bekas Meningkat Selama Pandemi, Carro Bukukan Pertumbuhan Bisnis

Sebuah studi bertajuk Indonesian Autos dari HSBC Global Research menemukan 90% respondennya beralih ke kendaraan pribadi selama masa pandemi ini. Di saat yang sama penjualan mobil baru masih jauh dari pulih. Di sisi lain, penjualan mobil bekas kian melonjak.

Carro, salah satu pemain marketplace untuk mobil bekas, mendapati berkah tersebut. Perusahaan rintisan yang bermarkas di Singapura itu mengklaim mengalami kenaikan permintaan hingga 600%. Angka itu terbilang besar untuk industri otomotif yang terpukul cukup dalam akibat pandemi sepanjang tahun.

Co-Founder Carro Aditya Lesmana memaparkan, pencapaian itu ditengarai oleh daya beli masyarakat yang menurun dan lebih berhemat dalam membelanjakan uangnya selama wabah berlangsung. Namun karena wabah juga, pasar beralih dari transportasi publik ke kendaraan pribadi agar terhindar dari ancaman virus saat bepergian. Carro ikut mereguk keuntungan dari kondisi ini.

“Selama pandemi Covid-19, Carro sendiri telah mengalami lonjakan jual beli mobil bekas bersertifikat yang dapat diuji coba dari rumah dan dibeli secara online,” ujar Aditya.

Data dari Lokadata menunjukkan penjualan mobil bekas tumbuh 80% pada Agustus kemarin. Dalam periode yang sama, penjualan mobil baru yang perlahan mulai pulih, masih tumbuh di angka 45% saja. Dan semua itu terjadi dengan catatan penjualan mobil secara year on year turun 47,8% per Oktober 2020. Hal ini memperkuat minat pasar di Indonesia masih kuat terhadap mobil bekas.

Aditya Lesmana menjelaskan, kenaikan permintaan yang mereka alami juga didorong oleh perubahan-perubahan dalam merespons kebutuhan pasar. Beberapa di antaranya adalah fitur test drive yang bisa dilakukan di tempat calon pembeli sehingga meminimalisasi kontak. Pembelian pun juga bisa diantar difasilitasi untuk dikirim langsung ke rumah pembeli.

“Tidak ada perubahan yang signifikan. Kami tetap melaksanakan rencana yang telah kami buat sejak beberapa tahun lalu dalam mengedepankan teknologi untuk memfasilitasi masyarakat agar dapat melakukan pembelian mobil secara contactless,” imbuh Aditya.

Carro sendiri memiliki model bisnis C2B untuk membantu konsumen menjual mobilnya; dan B2C untuk menjual mobil bekas yang dibeli dari konsumen. Di lanskap ini, mereka bersaing langsung dengan beberapa pemain, di antaranya OLX Autos dan Carsome.

Optimis Kian Tumbuh

Presiden Direktur Dyandara Promosindo Hendra Noor Saleh menilai pergeseran minat masyarakat ke mobil bekas masuk akal karena kondisi pandemi mendorong mereka beralih ke kendaraan pribadi namun dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Hendra pun yakin mereka yang bermain dengan memanfaatkan platform digital seperti Carro dapat bertahan dari tekanan ekonomi akibat pandemi.

“Di tengah tekanan yang diakibatkan pandemi Covid-19, industri otomotif harus bergerak cepat dan bertransformasi secara digital. Melalui penerapan teknologi akan muncul kekuatan baru bagi industri otomotif terutama dalam hal meningkatkan kualitas pelayanan dan interaksi dengan konsumen,” ujar Hendra.

Berkaca dari pencapaian tadi, Carro bersiap mereguk untung dari tren yang sedang berlangsung. Aditya Lesmana menjelaskan mereka berencana meluncurkan aplikasi untuk memudahkan konsumen dalam memantau penggunaan mobil hingga memeriksa jadwal perawatan. Sejumlah fitur baru juga akan mereka perkenalkan untuk mendukung kenyamanan pengguna.

“Kami terus berfokus dalam meningkatkan layanan ke konsumen sebagai pengguna akhir maupun showroom mobil bekas dengan menambahkan opsi asuransi mobil dan juga pembiayaan,” imbuh Aditya.

Aditya enggan menjawab angka penjualan mobil bekas yang ditargetkan oleh Carro untuk tahun ini. Namun ia optimis pencapaian mereka akan lebih baik seiring perekonomian yang diperkirakan akan membaik pada 2021.

“Kita mungkin tidak menjual mobil termurah tapi kita memberikan garansi mobil terlengkap,” pungkas Aditya.

Application Information Will Show Up Here

Bibit Umumkan Pendanaan 418 Miliar Rupiah yang Dipimpin Sequoia Capital India

Aplikasi reksa dana online Bibit mengumumkan pendanaan lanjutan senilai $30 juta atau setara lebih dari 418 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Sequoia Capital India. East Ventures, EV Growth, dan 500 Startups turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Dalam keterangan resminya, dana segar akan digunakan untuk mengembangkan layanan untuk mendongkrak lebih banyak investor pemula di Indonesia untuk terjun berinvestasi.

Direktur Utama Bibit Sigit Kouwagam menjelaskan, jumlah pengguna Bibit naik drastis menjadi lebih dari satu juta investor baru selama satu tahun terakhir. “Hal ini disebabkan meningkatnya kesadaran dan edukasi yang diberikan kepada investor pemula untuk menabung rutin setiap bulan secara konsisten dan pentingnya memiliki prinsip manajemen keuangan pribadi yang baik,” ujarnya, Selasa (5/1).

Berdasarkan data IDX dan KSEI, jumlah investor ritel di Indonesia tumbuh 56% secara YOY pada tahun lalu. Peningkatan ini disumbang oleh kalangan milenial dengan pertumbuhan 92% investor baru, dari kalangan umur 21-40 tahun. Meski naik signifikan, partisipasi masyarakat Indonesia di pasar modal masih kurang dari 2% pada saat ini.

“Kami percaya semua masyarakat berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Membantu meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong kebiasaan berinvestasi dengan cara yang benar adalah salah satu cara untuk mewujudkannya. Kami sangat bangga bisa mendapatkan dukungan dari Sequoia Capital India untuk mengejar misi tersebut.”

Dalam kesempatan yang sama, VP Sequioa Capital India Rohit Agarwal turut menyampaikan, “Secara global kami melihat konsumer mulai memindahkan tabungan mereka dari produk dengan yield rendah, seperti emas dan properti beralih kepada produk finansial dengan yield yang lebih tinggi. Di Indonesia, kami melihat Bibit sebagai platform investasi terpercaya yang dapat membantu jutaan masyarakat Indonesia berinvestasi secara optimal.”

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menambahkan, “Stockbit dan Bibit menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi di segmen retail investor di mana pertumbuhan nilai transaksi naik lebih dari 10 kali lipat pada tahun 2020. Kami yakin pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Stockbit dan memperkuat posisi mereka sebagai platform investasi terdepan.”

Sebagai informasi, Stockbit merilis Bibit pada Januari 2019, melalui akuisisi saham mayoritas di Bibit dengan nilai tidak disebutkan. Stockbit sendiri awalnya dimulai dari platform komunitas investasi untuk saling bertukar ide dan berita saham secara real time.

Sebagai bagian dari Stockbit Group, Bibit menjadi channel perusahaan untuk menjangkau investor pemula dengan investasi yang mudah. Bibit memanfaatkan teknologi Robo Advisor yang menyesuaikan produk sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi pengguna. Diklaim 90% pengguna Bibit datang dari kalangan milenial.

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam Fintech Report 2020, saat ini ada beberapa aplikasi investasi yang menyasar kalangan konsumer. Bibit sendiri menjadi aplikasi investasi yang mendapatkan total awareness paling tinggi dari responden survei.

Investment Platform in Indonesia

Di sisi lain, untuk reksa dana, saat ini Bibit berkompetisi dengan pemain lain seperti Bareksa, Ajaib, sampai Bukalapak yang saat ini sedang menyiapkan anak perusahaan yang khusus menangani produk investasi.

Application Information Will Show Up Here

Zenius Umumkan Pendanaan Pra-Seri B; Pendapatan Naik Ditopang Layanan “Live Class”

Startup edtech Zenius hari ini (05/1) mengumumkan telah mendapatkan putaran pendanaan pra-seri B dengan nilai yang tidak diungkapkan. Alpha JWC Ventures dan Openspace Ventures masuk ke jajaran investor baru, investor sebelumnya yakni Northstar, Kinesys, dan BeeNext juga turut andil di putaran ini.

Dana akan difokuskan untuk pengembangan platform, di tengah permintaan pasar yang terus berkembang. Sebelumnya Zenius secara resmi mengumumkan pendanaan seri A pada Februari 2020 lalu senilai $20 juta.

Turut disampaikan, sepanjang 2020 platform pembelajaran online tersebut mengklaim pertumbuhan kuat. Bahkan, pendapatan per semester kedua tahun lalu naik 70% dibandingkan periode yang sama di 2019. Zenius sempat menggratiskan sebagian besar konten pembelajaran sepanjang paruh pertama 2020, guna mendukung inisiatif belajar dari rumah di tengah pandemi Covid-19.

Pada Juni 2020, bersamaan dengan rebranding dan pembaruan aplikasi, Zenius mulai mengadopsi model bisnis freemium. Hampir 50% sumber pendapatan Zenius berasal dari fitur Live Class. Sejak diluncurkan pada Maret 2020, jumlah pengguna diklaim telah naik 10 kali lipat dengan tingkat retensi mencapai 90%.

Saat ini, kelas-kelas di Zenius rata-rata menerima rating 4,9 (dari 5), dengan jumlah kehadiran mencapai 400 siswa, dan sempat memecahkan rekor dengan 10 ribu pengguna dalam satu sesi matematika selama 60 menit.

Berdasarkan data SimilarWeb, rata-rata situs Zenius.net mendapat 3-4 juta kunjungan setiap bulannya. Di platform Android, aplikasi sudah diunduh lebih dari satu juta pengguna.

“Baru-baru ini kami meluncurkan fitur Automated Doubt-Solving melalui aplikasi kami dan WhatsApp. Fitur ini akan memberikan solusi kepada siswa hanya dengan menggunakan kamera di ponsel mereka. Sistem kemudian akan merekomendasikan video dan pertanyaan latihan untuk menjelaskan proses di balik solusi tersebut dan memungkinkan siswa secara aktif menerapkannya dalam rangkaian pertanyaan latihan yang diberikan. Hal ini akan menciptakan pengalaman belajar lebih mendalam yang berkontribusi pada pemikiran kritis siswa dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang sulit dan konsep masa depan”, kata CEO Zenius Rohan Monga.

“Selama lebih dari satu dekade, mereka telah menunjukkan rekam jejak dengan memperlihatkan hasil pembelajaran yang terbukti berhasil dan menciptakan kembali core business-nya seiring dengan munculnya medium-medium baru. Kami percaya rekam jejak tersebut akan menjadi faktor pembeda utama dalam lanskap pendidikan yang berkembang pesat, dan kami berharap putaran baru pendanaan ini akan mendorong pertumbuhan Zenius lebih jauh,” sambut Direktur Openspace Ventures Ian Sikora.

Edtech di Indonesia

Menurut data yang dirangkum dalam Edtech Report 2020 oleh DSResearch, saat ini ada beberapa model bisnis startup pendidikan yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Zenius sendiri berada di kategori “Learner Support, Tutoring, & Test Preparation” bersama beberapa pemain lainnya – termasuk yang dari/telah beroperasi di Indonesia seperti Ruangguru, Pahamify, dan CoLearn.

Edtech in SEA

Sejak tahun 2012, perlahan tapi pasti, berbagai jenis layanan edtech terus bermunculan di Indonesia. Merujuk pada laporan di atas, saat ini ada puluhan startup edtech lokal yang masih beroperasi – tentu masing-masing memiliki value proposition berbeda. Pangsa pasarnya memang sangat besar, katakanlah untuk pemain seperti Zenius atau Ruangguru yang menyasar pelajar K-12 (setingkat SD-SMA), setiap tahunnya ada lebih dari 50 juta siswa/i yang tersebar di seluruh Indonesia.

Potensi tersebut membuat beberapa pemain asing pun berbondong-bondong melakukan ekspansi ke Indonesia. Per tahun 2020, setidaknya sudah ada 6 pemain luar yang berhasil membangun basis bisnis di Indonesia – termasuk memiliki kantor perwakilan dan tim lokal.

Foreign Edtech Players in Indonesia

Pasar edtech lokal pun terus berkembang, tidak hanya melayani pelajar, berbagai startup edtech juga mulai menyasar kalangan profesional dan pelanggan bisnis. Beberapa model baru juga dilahirkan beberapa tahun terakhir, salah satunya terkait fintech yang fokus pada pinjaman pendidikan.

Application Information Will Show Up Here

Perusahaan “Group Retail” D2C Hypefast Berikan Investasi ke Bonnels

Hypefast, sebuah group direct-to-consumer (D2C) retail company, mengumumkan pemberian investasi ke Bonnels, sebuah brand online yang menjual produk natural untuk ibu dan anak-anak, dengan jumlah yang tidak disebutkan.

Bergabungnya Bonnels menambah portofolio yang telah dikumpulkan Hypefast. Kepada DailySocial, Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri mengatakan saat ini perusahaan telah memiliki 12 portofolio dan Bonnels adalah portofolio pertama mereka di sektor kesehatan dan kecantikan. Achmad memastikan mereka akan melipatgandakan investasi di sektor ini.

Meskipun belum bisa menjelaskan secara detail, Achmad menyebutkan bisnis Hypefast adalah mengembangkan tim, ekosistem, dan dana untuk membantu brand berkembang dan berekspansi dengan cepat. Brand yang menjadi sasaran Hypefast adalah yang memiliki keuntungan tahunan lebih dari Rp500 juta dan porsi mayoritas bisnisnya di ranah online.

Hypefast didirikan oleh orang-orang yang lama berkecimpung di industri, khususnya alumni Rocket Internet. Selain Achmad yang pernah menjadi CMO Lazada Indonesia, para penasihat perusahaan adalah Florian Holm (mantan CEO Lazada Indonesia), Ioann Fainsilber (Co-Founder Pintek), dan Jakob Rost (Co-Founder dan CEO Ayoconnect).

Dalam rilisnya, Brand Founder Bonnels Denny Santoso mengatakan, “Seiring dengan perjalanan Bonnels, kami membutuhkan partner yang memiliki latar belakang, pengalaman dan sumber daya yang kuat untuk mendukung misi saya yaitu membawa Bonnels menjadi brand retail produk natural bayi, anak-anak dan ibu terbesar di Asia Tenggara. Hypefast dengan seluruh sumber daya dan ekosistem yang dimilikinya merupakan pilihan paling tepat untuk mendorong pertumbuhan Bonnels. Saya senang sekali bisa bergabung ke dalam keluarga besar Hypefast.”

Bonnels, selain berjualan di platform e-commerce-nya sendiri, juga memiliki gerai di sejumlah online marketplace terkemuka.

Denny sendiri tak asing di industri startup dan telah mewarnai ekosistem ini sejak awal. Selain Bonnels, ia juga mengembangkan platform Tribelio untuk memudahkan perusahaan membangun dan memasarkan produk berbasis komunitas.

Achmad menambahkan, “Hypefast dan Bonnels memiliki visi dan misi yang sama, yaitu membangun ekosistem brand lokal Indonesia, hingga dapat bersaing tidak hanya di Indonesia tapi juga di berbagai negara lainnya. Saya
melihat Bonnels memiliki potensi yang cukup besar serta kualitas dari produk yang dimiliki sudah dapat bersaing dengan brand dari luar negeri.”

Pertumbuhan sektor D2C dan new economy mewarnai industri startup Indonesia tahun ini. Dimulai dari brand kopi, investasi di sektor ini juga merambah produk kesehatan, kecantikan, dan F&B.

Startup Healthtech Farmaku Akuisisi Portal Informasi DokterSehat

Startup healthtech Farmaku mengumumkan akuisisi, yang telah dilakukan bulan November lalu, terhadap DokterSehat dengan nilai yang tak disebutkan. Pasca akuisisi, kedua platform dapat tetap diakses seperti sebelumnya. CEO DokterSehat Indra Adam Darmawan kini menjabat sebagai CMO Farmaku.

Farmaku adalah platform yang menyediakan layanan pembelian obat-obatan, sementara DokterSehat fokus sebagai portal informasi kesehatan. Keduanya sudah berdiri selama setidaknya 4 tahun.

“Farmaku sebelumnya sudah bekerja sama dengan DokterSehat, sehingga penggabungan strategis ini diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia dengan lebih lengkap,” ujar CEO Farmaku Iswandi Simardjo.

Indra menambahkan, “Harapan dari akuisisi ini yaitu bisa melengkapi ekosistem yang lebih luas dalam hal transaksional dan pemberian informasi kesehatan di Indonesia.”

Sektor healthtech merupakan salah satu sektor yang mendapat akselerasi masif sebagai dampak pandemi. Di Indonesia sendiri dua startup saat ini sudah mencapai level centaur (valuasi di atas $100 juta), yaitu Halodoc dan Alodokter.

Selain portal informasi kesehatan dan pengantaran obat, startup di segmen ini telah berkembang ke arah pengembangan klinik pintar dan startup-startup bioteknologi.

Application Information Will Show Up Here

Laporan Akamai: Pandemi Memunculkan Tantangan Monetisasi Bagi Platform Konten

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap industri konten Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Laporan ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pemimpin media senior di Indonesia sepanjang Maret-Mei 2020, seperti MediaCorp, MNC Media, Vidio.com, Foxtel, Telin, dan Kayo Sports.

Menurut laporan terbaru Akamai bertajuk “Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market“, industri konten tanah air mengalami pertumbuhan signifikan, baik dari sisi trafik maupun pendapatan.

Pertumbuhan ini tercermin dari kenaikan trafik internet di 2020. Secara tahunan (YoY), pertumbuhan trafik di kuartal pertama 2020 mencapai 73 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berkisar 139 persen. Sementara, secara kuartalan (QoQ), trafik dari Q1 ke Q2 2020 naik 46 persen dibandingkan periode sama 2019 yang hanya sekitar 5 persen.

Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial

Regional Sales Director South Asia Akamai Matthew Lynn mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan pada platform konten dan layanan berbasis internet lainnya memang tidak disangka oleh pelaku bisnis di bidang ini. Apalagi, penetrasi internet dan layanan konten belum sepenuhnya merata.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mencapai milestone luar biasa selama dua dekade ini dari sisi jumlah pengguna internet. APJII sebagaimana dikutip Akamai dalam laporannya mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 152 juta pengguna di 2019.

“Responden melihat pandemi menjadi faktor pendorong bagi kuntuk berlangganan konten dari sumber yang berkualitas dan kredibel. Karena situasi ini, persaingan untuk membuat konten eksklusif atau konten agregator serta upaya untuk memonetisasinya menjadi semakin ketat,” ungkap laporan ini.

Alasan konsumen tertarik untuk berlangganan antara lain dikarenakan oleh variasi konten banyak (51%), ketersediaan konten original (45%), ketersediaan konten existing yang sulit dicari di platform lain (27%), opsi free trial (24%), menonton tanpa iklan (17%), konten layak ditonton untuk anak-anak (16%), dan bundle dengan layanan lain (15%).

Ditambah lagi, secara umum industri media/konten di Indonesia dinilai terbilang masih berada di fase awal. Tak heran, kondisi ini memicu ruang pertumbuhan terhadap pemain baru jika melihat besarnya potensi pasar Indonesia.

Tekanan untuk monetisasi konten, model langganan atau iklan?

Pandemi mendatangkan trafik luar biasa terhadap bisnis konten. Akamai juga mencatat peningkatan pendapatan, terutama pada layanan video on-demand dengan CAGR 9,7% atau sebesar $306 miliar.

Akan tetapi, situasi ini justru memunculkan tantangan baru untuk tahapan selanjutnya: bagaimana melakukan scale up dan monetisasi layanan? Belum lagi, pandemi justru membuat konsumen lebih berhati-hati mengeluarkan budget untuk membeli konten.

Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial

Masih dikutip di laporan Akamai, APJII melaporkan penurunan pendapatan pada 500 anggotanya, di mana hampir 45 persen dari bisnis mereka turun hingga 30 persen. Adapun, sebanyak 6 persen terpaksa menutup bisnisnya karena tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.

Sejak awal, responden memang memprediksi terjadinya market correction, tetapi mereka tidak menduga situasi tersebut bakal terjadi secepat ini. Pasalnya, pelaku bisnis saat ini masih berupaya mencari cara lain untuk memonetisasi kontennya.

“Ini menjadi pressure buat para pelaku bisnis konten, terutama demi memenuhi permintaan konsumen yang mulai shifting pada kebiasaan baru selama masa pandemi, yakni menonton konten secara online,” papar Lynn.

Saat ini sebagian besar model bisnis konten mengandalkan langganan (subscription) dan iklan (ads). Kedua model ini cukup banyak diadopsi demi menaikkan viewership dan mudah dimonetisasi. Sebanyak 70 persen responden menilai subscription menjadi model yang sustainaible untuk monetisasi.

“Khususnya pada layanan streaming, bisnis konten ini terbilang kompetitif karena ditunjang oleh model free trial. Konsumen dimanjakan dengan berbagai opsi berlangganan. Pada akhirnya, platform ini fokus terhadap akuisisi dan retensi pelanggan,” jelasnya.

Beberapa responden memilih untuk menggunakan pendekatan hybrid sebagai model yang tepat. Caranya dimulai dengan menawarkan konten gratis dengan kualitas dan experience terbatas. Model ini dapat membuka peluang lebih lanjut bagi konsumen untuk menikmati experience lebih baik dengan berlangganan.

Bagi responden, strategi ini dinilai menarik karena konsumen dapat menikmati konten selagi mempertimbangkan untuk berlangganan, dan di saat yang sama penyedia platform dapat memonetisasinya melalui iklan dari opsi free trial.

“Ini berarti budget iklan harus bisa menghasilkan return yang lebih baik melalui penayangan iklan berkinerja tinggi yang dapat menunjukkan peningkatan addressability pada one-to-one advertising,” ungkap laporan ini.

 

Lolos ke Y Combinator, Finantier Mulai Gaet Investor Baru untuk Pendanaan Awalnya

Finantier, startup pengembang platform open finance, hari ini (23/12) mengumumkan telah terpilih untuk mengikuti program akselerasi Y Combinator untuk batch Winter 2021 di tahun depan. Bersamaan dengan itu, mereka juga menambah jajaran investor yang turut andil dalam pendanaan awal mereka, yakni Y Combinator dan Two Culture Capital.

Sebelumnya di akhir November 2020 lalu, startup yang digawangi oleh Diego Rojas, Keng Low, dan Edwin Kusuma tersebut mengumumkan pendanaan pra-tahap awal (pre-seed) yang dipimpin oleh East Ventures dengan partisipasi dari AC Ventures dan Genesia Ventures.

Para founder mengharapkan, bergabungnya Finantier ke YC diharapkan dapat menyerap berbagai keahlian ala Silicon Valley untuk memperkuat bisnis dan produk yang dimiliki di pasar Asia Tenggara. Di sisi lain, mereka juga menjadi makin yakin karena isu-isu yang coba diselesaikan melalui teknologinya secara tidak langsung turut tervalidasi.

“Y Combinator adalah kesempatan unik bagi kami untuk mempercepat pertumbuhan dengan bantuan mentor kelas dunia, terhubung dengan beberapa investor tahap awal teratas, dan membangun kemitraan strategis untuk rencana ekspansi masa depan kami,” ujar CEO Finantier Diego Rojas.

Sejak menerima pendanaan pre-seed, Finantier telah menerima sekitar 20 klien di fase beta. Mereka menyuguhkan tiga kapabilitas utama, yakni verifikasi identitas (eKYC); membantu bisnis mengelola data mentah dengan machine learning (big data); dan menghadirkan fitur untuk mengakomodasi pembayaran yang dilakukan rutin atau langganan. Layanan disuguhkan kepada pemain fintech, diintegrasikan melalui mekanisme API.

Turut ditambahkan, dana dari investor baru akan difokuskan untuk meningkatkan tim, teknologi, dan pemasaran. Hadirnya Y Combinator dan Two Culture Capital ke dalam jajaran bisnisnya juga dipandang sebagai kesempatan untuk memperluas cakupan layanan, termasuk di luar Asia Tenggara.

Startup Indonesia di Y Combinator

Per awal tahun ini kami mencatat, setidaknya ada tujuh startup lokal yang sudah bergabung di Y Combinator – di paruh kedua 2020, BukuWarung turut andil dalam program ini. Tidak dimungkiri, program akselerasi berbasis di Mountain View menjadi salah satu katalisator lahirnya startup digital terkemuka. Dropbox, Stripe, Coinbase, Twitch, Reddit, Airbnb adalah beberapa nama-nama alumni program tersebut yang saat ini bisnisnya mendunia.

Y Combinator Startup Indonesia

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari program ini. Sebelumnya kami pernah merangkum dalam tulisan bertajuk “Studi Banding ke Program Akselerator Y Combinator“.

Salah satu testimoni diberikan oleh Co-Founder Shipper Budi Handoko yang tergabung dalam YC W19. Ia mengatakan, “Orang-orang di YC itu semuanya entrepreneur. Dengan bergabung di program itu kita makin banyak dikenal mitra, investor. Ini kesempatan bagi kami untuk memvalidasi bisnis kepada top entrepreneur. Di sana kami belajar cara presentasi bisnis dengan sangat efisien dan efektif.”

Co-Founder Nustantara Tech & SuperApp.id Steven Wongsoredjo juga mengaku mendapat pengalaman menyenangkan dari keikutsertaannya di program tersebut. Ia bercerita, “Pengalaman YC benar-benar mengubah pola pikir saya. Mereka mengajarkan untuk membuat versi paling sederhana dari produk dan meluncurkan secepat mungkin. Tujuannya untuk menguji apakah tesis kami memiliki kecocokan di pasar. Waktu adalah komoditas paling berharga, jadi kita harus secepat mungkin memastikan itu semua, bukan sekadar berasumsi.”

OVO Group Perluas Ekosistem Layanan, Dirikan Perusahaan Patungan di Bidang Insurtech

PT Bumi Cakrawala Perkasa, selanjutnya disebut OVO Group, merupakan perusahaan induk layanan dompet digital OVO (PT Visionet Internasional) dan p2p lending Taralite (PT Indonusa Bara Sejahtera).  Mereka baru mengumumkan kerja sama strategis dengan ZA Tech untuk membentuk perusahaan patungan di bidang insurtech.

Diketahui ZA Tech merupakan anak perusahaan ZhongAn Online P&C Insurance, terbentuk dari kemitraan antara SoftBank Vision Fund 1 dan ZA International.

Hadirnya insurtech di OVO Group tentu memperluas cakupan produk finansial mereka. Selain dompet digital dan p2p lending, mereka juga memiliki keterikatan kuat dengan Bareksa sebagai layanan fintech yang fokus pada investasi reksa dana. Potensi penetrasi berbagai layanan finansial yang terus menguat menjadikan dasar bagi perusahaan untuk melakukan aksi perusahaan tersebut.

“Melalui kemitraan ini, kami percaya bahwa kita dapat  bersama-sama mendorong transformasi digital di Indonesia untuk perusahaan asuransi, sehingga mempercepat adopsi asuransi di Indonesia,” ujar Presiden Direktur OVO Group Jason Thompson.

Turut disampaikan, penetrasi asuransi di Indonesia tergolong masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar 1,7% dari lebih dari 265 juta orang Indonesia yang saat ini dilindungi oleh asuransi swasta. Di sisi lain, Indonesia juga merupakan pasar dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat rata-rata di atas 5% dalam tiga tahun terakhir.

Layanan yang nantinya dihadirkan oleh insurtech tersebut akan membantu perusahaan asuransi untuk mendigitalkan produk mereka. Proses backend yang tadinya manual akan diautomasi; termasuk menyederhanakan proses perhitungan premi yang sebelumnya sangat rumit. Harapannya dapat tercipta ekosistem produk yang terjangkau dan diminati kalangan masyarakat yang lebih luas.

“Dengan menggunakan platform insurtech yang dibangun oleh BCP dan ZA Tech, perusahaan asuransi akan dapat mendigitalkan penawaran konvensional mereka, sehingga dapat memberikan produk dan layanan secara lebih efektif kepada masyarakat dalam rangka mempercepat transformasi digital di pasar asuransi Indonesia yang sangat besar,” tutup Thompson.

ZhongAn sendiri sebelumnya juga telah membentuk perusahaan patungan dengan Grab untuk membuat layanan insurtech berbasis marketplace. Di dalamnya akan menawarkan berbagai kategori produk asuransi yang dapat diakses langsung melalui aplikasi Grab dan dibayarkan melalui fitur GrabPay. Di Indonesia, Grab juga terafiliasi dengan OVO sebagai dompet digital yang menopang sistem pembayaran di aplikasinya.

Ekosistem insurtech di Indonesia

DSResearch dalam laporan bertajuk “Insurtech Strategic Innovation 2020” memetakan beberapa pemain insurtech yang saat ini sudah beroperasi di Indonesia. Melalui kemitraan yang dimiliki dengan berbagai perusahaan asuransi, masing-masing layanan mencoba menghadirkan berbagai produk asuransi – sebagian besar ditujukan di segmen konsumer.

Insrutech di Indonesia

Beberapa juga lakukan integrasi dengan layanan digital di segmen lain, misalnya yang dilakukan PasarPolis dengan menghadirkan layanan GoSure di Gojek untuk asuransi perjalanan; hal serupa juga dilakukan Qoala bersama Grab di Indonesia; kemudian ada juga Premiro yang masuk ke ekosistem layanan Tanamduit.

Mengutip hasil studi Munich Re Economic Research, Indonesia akan memimpin pertumbuhan premi asuransi kesehatan dan jiwa dari tahun 2019-2030, dengan CAGR sebesar 9,1%. Sepanjang taun 2019, premi yang berhasil dibukukan sudah mencapai 185,3 triliun Rupiah untuk asuransi jiwa dan 80,1 triliun Rupiah untuk asuransi kesehatan.

Pandemi tidak menyurutkan pertumbuhan bisnis asuransi di Indonesia. Data menunjukkan adanya pemulihan yang relatif cepat terkait pendapatan bruto premi untuk asuransi jiwa sepanjang tahun 2020.

Asuransi di Indonesia Selama Pandemi

Gerak cepat fintech memasuki insurtech juga terus terlihat, tidak hanya oleh pemain legasi yang terus melakukan ekspansi bisnis. Salah satunya Fazz Financial Group, unit yang membawahi layanan Payfazz dan Modal Rakyat, mulai bekerja sama dengan Adira Insurance untuk mendukung salah satu unit layanan mereka. Karena diyakini, kesadaran adopsi layanan asuransi akan terbentuk seiring peningkatan literasi finansial masyarakat Indonesia yang terus digenjot, tarmasuk dibantu para pemain fintech tersebut.

CoHive Perkuat Bisnis di Surabaya, Menanti Terobosan Bisnis Coworking Space Tahun Depan

Hari ini (22/12), operator coworking space CoHive mengumumkan cabang kedua di Surabaya dengan menggaet TIFA Properti sebagai mitra di Graha Bukopin Surabaya (GBS) untuk lantai 7, 8 , dan 12. Di lokasi teranyar ini diklaim menjadi coworking terbesar bertaraf internasional di Jawa Timur dengan total wilayah seluas 2500 square/meter.

CoHive pertama kali merambah ke Surabaya pada Oktober 2019 dengan menggaet Tanrise Property.

Surabaya dipilih karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kota ini memiliki pelaku ekonomi kreatif terbesar di Indonesia yakni 6,41% di tahun 2016. Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini telah menunjukkan komitmen untuk mendukung perekonomian kreatif melalui berbagai inisiatif, seperti “Pahlawan Ekonomi Surabaya” yang telah memberdayakan lebih dari 5,000 ibu rumah tangga untuk membangun usaha kecil mereka.

“Selain pertumbuhan industri ekonomi kreatif yang begitu pesat, member CoHive cukup banyak yang ingin ekspansi ke Surabaya, sehingga dengan munculnya cabang kedua, akan memudahkan member CoHive yang ingin mencari ruang kerja baru di Surabaya,” ucap CEO CoHive Chris Angkasa dalam keterangan resmi.

Berbekal data dari BPS di atas, sejalan dengan komitmen CoHive yang ingin menjadi wadah ekosistem pengusaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan startup di Surabaya yang kian berkembang. Juga, memberikan akses jejaring bisnis yang lebih luas.

“Selain menyediakan akses terhadap komunitas dan jejaring bisnis, CoHive menjawab kebutuhan usaha kecil-menengah akan ruang kerja yang fleksibel dan terjangkau.”

Chris melanjutkan, di lokasi ini perusahaan menawarkan berbagai jenis keanggotaan seperti daily pass, team desk, dan private office. Ruang lain yang disediakan, antara lain meeting room dengan sistem sewa per jam.

Pekan lalu, Chris resmi diumumkan sebagai CEO baru CoHive menggantikan Jason Lee yang kini menempati posisi Presiden CoHive. Sebelumnya Chris mendirikan Clapham Collective di Medan pada 2015. Pasca Clapham dan CoHive (saat itu EV Hive) pada 2017, ia terus terlibat di dalam CoHive sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat perusahaan.

Proyeksi bisnis coworking pada 2021

Bisnis coworking space termasuk banyak industri yang terkena imbas akibat pandemi. Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, disebutkan pada tiga bulan pertama pandemi okupansi hampir 0% karena mayoritas anggota menutup lokasinya selama dua sampai tiga bulan. Data tersebut dihimpun dari mini-survei yang dibuat oleh Asosiasi Coworking Indonesia. Survei ini diikuti oleh 30%-40% anggota dari total 250 anggota yang mewakili sekitar 100 bisnis coworking space.

Sekarang kondisi sudah mulai berangsur membaik karena pelonggaran PSBB secara bertahap di kota-kota besar, meski belum 100% kembali ke kondisi sebelum pandemi.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial, Chris menuturkan masih berada dalam posisi wait and see dengan situasi pasar. Perlu pengamatan cermat karena perilaku pekerja akan berubah. Namun untuk konteks Indonesia, sambungnya, perilaku pekerja tidak akan berubah total, terutama yang berhubungan dengan tangible capital, tentu saja demand dari physical space masih ada.

“Secara tradisional, permintaan ini masih bisa dipenuhi oleh bisnis penyewaan ruang secara konvensional. Namun untuk sektor jasa atau teknologi, permintaan ruang kerja akan berkurang karena kebanyakan jenis kerja yang dilakukan banyak yang bisa dilakukan di luar kantor, misalnya di rumah atau kedai kopi.”

Oleh karenanya, terkait strategi perusahaan pada tahun depan, ia mengaku sulit melakukan proyeksi karena sekarang berhadapan dengan dunia yang berbeda dengan masa lalu. “Jadi kita tidak bisa ekstrapolasi data di masa lalu ke masa depan. Mungkin dalam 3-6 bulan, kita bisa memiliki pandangan yang lebih jelas akan landscape bisnis di tahun mendatang.”

CoHive sendiri termasuk salah satu operator coworking space dengan jaringan terluas di Indonesia. Mereka mengoperasikan 30 lokasi dengan total luas gedung mencapai 60 ribu meter persegi di Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam pantauan DailySocial, CoHive menutup lokasi di Bali yang kemungkinan besar terjadi pada tahun ini.

Menyambung dari situ, mengutip dari hasil laporan DSResearch “Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020” yang disusun bersama Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, menyatatkan pandemi bisa jadi mendorong lebih banyak pekerja untuk menggunakan creative hub (sebutan dari coworking space) sebagai opsi tempat kerja fleksibel.

Para operator pun melakukan adaptasi model bisnis untuk menyesuaikan dengan situasi, seperti periode pembatalan yang lebih santai, atau harga yang lebih rendah untuk anggota baru dan promo untuk anggota aktif; menerapkan standar sanitasi; menentukan target market dan mengembangkan inovasi dalam strategi marketing; preferensi kantor privat, dan sebagainya.

Meski coworking space mengalami penurunan pengguna, namun ke depannya akan menjadi pilihan yang lebih cocok untuk perusahaan yang ingin menghemat pengeluaran ketimbang harus sewa bangunan fixed. “Peluang bisnis seperti ini mungkin belum terlihat nilainya, tetapi dalam mengatasi tantangan saat ini akan bisa menempatkannya pada antrean terdepan untuk bisa dimanfaatkan pada waktunya,” tulis laporan tersebut.

Masih dalam laporan yang sama, keberadaan coworking space di suatu kota sebenarnya amat memengaruhi pertumbuhan industri startup atau pengguna. Di Yogyakarta, disebutkan ada banyak perusahaan dari luar negeri, seperti Singapura yang mulai mencari talenta-talenta di Indonesia.

Setiap tahunnya ada sekitar 50 startup baru yang mencoba talenta di Yogyakarta. Alhasil, semakin banyak startup, semakin besar peranan coworking space. “Jadi kalau ada startup yang tertarik berekspansi ke luar negeri atau di dalam negeri, mereka pasti lebih suka memiliki kantor di coworking space,” kata CEO Waktukita.com, Ilham selaku pengguna Block71 di Yogyakarta.

Selain dari aspek konteks wilayah, salah satu penawaran yang cukup menjanjikan di masa depan adalah fasilitas online dari creative hub. Creative hub akan tetap berkembang selama dapat mengoptimalkan dan meningkatkan penggunaan perangkat online.

Sebagaimana diungkapkan oleh CEO Growpal Paundra selaku pengguna Block71 Jakarta, akomodasi untuk acara melalui platform online lebih mudah karena terbatasnya jumlah pengguna yang dapat berkumpul seperti sebelumnya. Upaya ini sejalan dengan kebiasaan orang yang telah beralih ke aktivitas online sejak pandemi.