Komisaris Utama GoTo Jadi Investor AnterAja, Kuasai 10% Saham

Konglomerat Garibaldi “Boy” Thohir menambah portofolio investasi. Yang teranyar, Boy masuk menjadi investor di perusahaan logistik AnterAja. Boy Thohir sendiri adalah Komisaris Utama GoTo bersama Wishutama Kusubandio.

Menurut keterbukaan di Bursa Efek Indonesia, PT Tri Adi Bersama (AnterAja), anak usaha PT Adi Sarana Armada (ASSA) menerbitkan saham baru sejumlah 490.413 saham atau setara Rp70,55 miliar. Seluruh saham tersebut dibeli oleh pihak ketiga, yakni Boy Thohir.

“Seluruh pemegang saham TAB yang sudah ada sebelumnya, akan mengesampingkan hak pre-emptive yang dimiliki untuk mengambil bagian saham atas penerbitan saham baru tersebut,” tulis manajemen ASSA, Rabu (13/4).

Dengan dilakukannya transaksi tersebut, maka kepemilikan saham ASSA dan pemegang saham lainnya terdilusi.

Sebelum transaksi, struktur pemegang saham AnterAja adalah ASSA sebanyak 55%, PT Roda Bangun Selaras 25%, dan Time Prestige Investments Limited 20%. Setelah transaksi, kepemilikan saham menjadi ASSA 49,5%, PT Roda Bangun Selaras 22,5%, Time Prestige Investments Limited 18%, dan Garibaldi Thohir 10%.

Direksi ASSA menegaskan meskipun kepemilikan ASSA terdilusi, pihaknya tetap menjadi pengendali di TAB. “ASSA tetap menjadi pengendali di TAB karena ASSA merupakan pemegang saham terbesar di TAB.”

Sebagai catatan, Tokopedia melalui PT Semangat Bambu Runcing (SBR) awalnya pemegang saham awal di AnterAja sebesar 25%. Namun pada awal tahun lalu, dialihkan ke PT Roda Bangun Selaras (RBS). Adapun SBR ini merupakan afiliasi dari GOTO. Dalam prospektus GOTO, disampaikan bahwa SBR melakukan sejumlah investasi, salah satunya ke PT Wahana Teknologi Indonesia (WTI).

Kemudian, WTI juga melakukan berbagai investasi, salah satunya ke Roda Bambu Runcing (RBS). Selain AnterAja, RBS juga turut berinvestasi ke PT Adi Sarana Logistik (Titipaja) dengan kepemilikan 40% saham.

Kinerja AnterAja

AnterAja merupakan salah satu lini bisnis di ASSA yang memberikan kontribusi bisnis yang cukup signifikan. Dalam laporan keuangan ASSA pada tahun lalu, mencatatkan pendapatan Rp5,1 triliun naik 68% dibandingkan tahun 2020 sebesar Rp3 triliun.

Kenaikan tersebut didorong oleh pertumbuhan signifikan dari bisnis delivery express AnterAja yang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan 248% dan telah memberikan kontribusi laba untuk ASSA. Kenaikan pertumbuhan ini membuat AnterAja berkontribusi terhadap 54% atau senilai Rp2,8 triliun dari total pendapatan ASSA.

“Sejak awal berdiri, tren pendapatan ASSA selalu didominasi oleh bisnis rental yang diikuti oleh penjualan kendaraan bekas hingga kuartal I-2021. Kemudian, sejak kuartal II-2021, pendapatan dari lini bisnis logistik yang terdiri dari ASSA Jasa Logistik dan Anteraja berhasil meningkat melebihi kontribusi pendapatan dari lini bisnis yang lain,” ungkap Presiden Direktur ASSA Prodjo Sunarjanto sebagaimana dilansir dari Investor.id.

Application Information Will Show Up Here

Better Bite Ventures Fokus Danai Startup di Segmen Protein Alternatif, Indonesia Masuk Target Pasar Utama

Dalam pembahasan mengenai degradasi lingkungan, ilmuwan PBB menyatakan bahwa memelihara hewan untuk dimakan adalah salah satu penyebab utama masalah lingkungan yang mendesak di dunia. Setara dengan pemanasan global, degradasi lahan, polusi udara dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Analisis dari Universitas Johns Hopkins menunjukkan bahwa produk protein alternatif dapat menghemat hingga 93% emisi gas rumah kaca, 89% air, dan 98% penggunaan lahan, dibandingkan dengan protein hewani konvensional.

Atas dasar isu dan potensi tersebut, perusahaan modal ventura yang fokus mendukung startup tahap awal Asia Pasifik (APAC) di sektor protein alternatif “Better Bite Ventures” mengumumkan peluncuran dana kelolaan senilai $15 juta. Perusahaan memiliki misi untuk mendukung para pendiri tahap awal mengembangkan alternatif penting ramah iklim untuk protein hewani dalam apa yang digambarkan sebagai ‘pasar makanan terbesar di dunia’.

Perusahaan menargetkan investasi terhadap 20-30 perusahaan di Asia Pasifik. Investasi ini akan fokus menjangkau perusahaan tahap pre-seed dan seed dengan rentang nilai $200-$700 ribu. Dana kelolaan tersebut turut didukung oleh investor impact terkemuka, manajer dana kelolaan  untuk perusahaan tahap lanjut, perusahaan konglomerat, serta pengusaha makanan dan teknologi dari Asia, AS, dan Eropa. LP terbesar datang dari Asia Tenggara.

Better Bite Ventures didirikan oleh Michal Klar dan Simon Newstead, keduanya memiliki latar belakang yang kuat dalam industri protein alternatif dengan pengalaman lebih dari 20 tahun termasuk menjalankan media Future Food Now dan podcast Vegan Startup. Selain itu, mereka juga aktif sebagai angel investor di segmen terkait. Berawal dari kesamaan visi dan misi, mereka memutuskan bahwa sudah saatnya untuk mengambil langkah lebih maju dan fokus membangun ekosistem protein alternatif di Asia Pasifik.

“Kami di sini untuk berinvestasi pada pendiri yang berani membangun unicorn teknologi pangan masa depan Asia,” ujar Michal Klar sebagai General Partner. “Sekarang adalah momentum untuk Asia. Kami percaya perusahaan dengan wawasan lokal akan mengambil peran utama di pasar yang berkembang pesat ini”.

Dalam wawancara singkat bersama tim DailySocial.id, Michal juga mengungkapkan bahwa investasi ini sangat terkait dengan dampak secara keseluruhan, namun juga tetap melihat dari sisi potensi profitabilitas dan pertumbuhannya.

Hingga saat ini, Better Bite Ventures telah berinvestasi di 10 startup regional yang mencakup keseluruhan teknologi protein alternatif, dari pertanian berbasis tanaman hingga solusi rantai pasok. Sejauh ini, dana tersebut telah disalurkan pada para pengembang solusi yang memimpin pasar Green Rebel dari Indonesia.

Fokus di pasar Indonesia

Menurut studi Boston Consulting Group baru-baru ini, pasar protein alternatif global diproyeksikan mencapai lebih dari $290 miliar pada tahun 2035, sekitar 11 persen dari total pasar protein secara keseluruhan, yang dua pertiganya disinyalir adalah kontribusi dari wilayah APAC.

Lembaga nirlaba Good Food Institute menerbitkan data yang menunjukkan bahwa lebih dari $3 miliar telah diinvestasikan ke dalam perusahaan rintisan protein alternatif pada tahun 2020, dengan perusahaan rintisan APAC menyumbang lebih dari $230 juta. Angka 2021 diperkirakan menunjukkan pertumbuhan yang lebih besar lagi.

Melihat angka tersebut, Michal meyakini potensi pertumbuhan di segmen ini ke depannya. Michal juga menyebutkan bahwa jumlah tersebut hanya sebagian kecil dari total potensi keseluruhan. “Pada dasarnya kami percaya bahwa ini adalah saat yang tepat, momentumnya sudah ada, dan Asia akan tumbuh beriringan dengan seluruh dunia. Hal ini membuat kami sangat bersemangat,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dan paling menarik di Asia. Selain karena pengalamannya yang pernah lima tahun tinggal di negara ini, co-founder yang lain, Simon, juga merupakan keturunan Indonesia. Maka dari itu, mereka merasa memiliki ikatan personal dengan area ini.

Selain itu, Michal juga mengakui bahwa masyarakat Indonesia, utamanya kaum urban, memiliki pikiran yang sudah sangat terbuka untuk adopsi tren baru. Sepuluh tahun yang lalu, ungkapnya, masih sulit untuk menemukan tempat makan vegetarian di area ini. Sekarang, banyak resto yang sudah menawarkan menu tersebut.

“Saya rasa, perlahan tapi pasti, konsumen semakin berkembang. Menurut saya ada dua hal yang akan jadi penggerak industri di segmen ini. Pertama, konsumen semakin menyadari manfaatnya dari sisi kesehatan personal dan juga potensi sustainability di segmen ini,” ujarnya

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya western food, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Vidio Miliki 62 Juta Pengguna, Perbanyak Hak Siar Olahraga untuk Tingkatkan Pelanggan Berbayar

Vidio makin percaya diri menjadi penantang lokal untuk platform over-the-top (OTT), khususnya di layanan video on-demand (VOD). Berbagai upaya dilakukan, mengingat saat ini potensi penonton VOD semakin besar di Indonesia. Menurut hasil riset terbaru The Trade Desk dan Kantar, 1 dari 3 orang Indonesia menonton OTT dengan tingkat pertumbuhan 25% yoy.

Melalui grup perusahaannya, EMTEK, Vidio akan segera menyiarkan perhelatan olahraga yang cukup signifikan peminatnya, yakni Piala Dunia dan Liga Inggris, untuk melengkapi konten-konten olahraga yang sebelumnya ada. Dinilai ini akan menjadi langkah penting dalam meningkatkan jumlah pengguna, khususnya pelanggan berbayar. Karena untuk mengakses tayangan olahraga premium tersebut pengguna harus berlangganan di paket khusus yang disediakan.

“Vidio juga terus berusaha untuk semakin memantapkan posisinya sebagai platform OTT ‘home of sports’ yang selalu menyajikan tayangan olahraga dan hiburan terbaik serta terlengkap. Vidio pun menargetkan akan terjadinya pertumbuhan eksponensial di tahun 2022 ini” ujar Managing Director Vidio Monika Rudijono kepada DailySocial.id.

Saat ini, Vidio berbagai pertandingan sepakbola dari liga-liga terbaik dunia dan lokal seperti: BRI Liga 1, Liga 2, Liga 3, LaLiga, UEFA Europa League, UEFA Champions League, hingga puncaknya World Cup Qatar 2022. Tak ketinggalan ada juga cabang olahraga basket seperti NBA dan IBL, serta tenis dalam ajang WTA (Women’s Tennis Association), hingga balap Formula 1 yang tengah berlangsung pada bulan Maret ini hingga November 2022 mendatang.

Statistik pertumbuhan bisnis

Turut disampaikan oleh Monika, hingga penutupan Q4 2021 Vidio telah mengalami peningkatan jumlah monthly active users (MAU) mencapai 62 juta pelanggan. Di antara basis penggunanya, 2,3 juta di antaranya adalah pengguna berbayar.

“Vidio menutup Q1 2022 dengan pertumbuhan pelanggan berbayar 1,9x dibandingkan Q1 2021,” imbuhnya.

Mengutip laporan Media Partner Asia Q4 2021, Vidio mendapatkan peringkat #1 untuk OTT di Indonesia, didasarkan pada MAU dan durasi tonton para penggunanya. Sementara itu untuk jumlah pelanggan berbayar, Vidio ada di peringkat #3 setelah Netflix dan Viu.

Vidio sendiri memiliki posisi yang unik, selain dengan konten berseri dan film seperti yang dimiliki Netflix, mereka juga menayangkan program live – termasuk siaran dari televisi lokal. Makin relevan lagi di saat penetrasi smart TV semakin meningkat.

Masih dari hasil riset The Trade Desk, saat ini penonton OTT dengan smartphone masih mendominasi, namun demikian penggunaan smart TV juga semakin meningkat di angka 29%. Bahkan dari survei yang dilakukan, 27% pengguna OTT berencana membeli smart TV baru dalam 6 bulan mendatang.

Strategi penguatan bisnis

Dengan varian konten yang dimiliki, Vidio tidak bergantung sepenuhnya kepada model bisnis berlangganan. Karena bagi penonton yang menikmati konten gratis, mereka juga akan disuguhkan dengan iklan layaknya di televisi tradisional. Iklan ini juga menjadi salah satu sumber pemasukan yang signifikan untuk penyelenggara OTT.

Hal ini dikarenakan preferensi pengguna OTT di Indonesia masih sangat divergen. Sebagian besar menikmati platform yang memberikan opsi gratis dengan iklan dan berbayar.

Preferensi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Selain meningkatkan kuantitas konten olahraga, disampaikan oleh VP Marketing Vidio Rezki Yanuar dalam sebuah wawancara, strategi yang tengah digenjot adalah melahirkan konten-konten orisinal. Di tahun 2021 sudah mulai agresif, ada 7 serial yang diproduksi dan ditayangkan.

“Persaingan OTT yang paling signifikan adalah konten. Pemasaran dan produk bagus pun percuma kalau tanpa konten yang bisa memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk itu kami punya tiga pilar terkait konten, yakni live streaming, sports, dan serial/film orisinal,” imbuh Rezki.

Di luar konten, beberapa strategi bisnis juga digencarkan, termasuk kerja sama dengan operator telekomunikasi. Vidio ditempatkan sebagai layanan add-on untuk pelanggan. Hal ini dianggap jadi langkah efektif karena berpotensi untuk mendapatkan early adaptor lebih banyak.

Application Information Will Show Up Here

Ajaib Group Kini Miliki 40% Saham Bank Bumi Arta

Ajaib Group melalui PT Takjub Finansial Teknologi (TFT) kembali meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya di PT Bank Bumi Arta Tbk (IDX: BNBA) sebanyak 443,52 juta saham atau setara 16 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksi pembelian saham ini dilaksanakan pada 8 April 2022 dengan harga pelaksanaan Rp1.345 per saham.

Sebelumnya, Ajaib Group mencaplok sebanyak 665,2 juta saham atau mewakili 24 persen saham Bank Bumi Arta pada November 2021. Dengan penambahan ini, Ajaib kini menguasai 1,10 miliar saham atau setara 40 persen dari seluruh modal ditempatkan dan disetor penuh.

Manajemen Ajaib Group mengungkap bahwa pihaknya ingin menjadi pemegang saham pengendali baru Bank Bumi Arta melalui penambahan kepemilikan saham ini.

Ekspansi produk

Dalam pemberitaan sebelumnya, Director of Stock Brokerage Ajaib Sekuritas Anna Lora sempat menyampaikan bahwa akuisisi ini akan memudahkan Ajaib untuk mengembangkan lebih banyak produk di masa depan.

Perusahaan mulai memperkenalkan layanan baru bernama Margin Trading Ajaib pada Maret. Sebagai informasi, margin trading merupakan pinjaman yang difasilitasi perusahaan sekuritas kepada nasabah pemilik rekening efek.

Margin Trading Ajaib memungkinkan pengguna untuk menebus jumlah saham lebih banyak dengan menggunakan pinjaman dana dari perusahaan sekuritas. Ajaib memfasilitasi Margin Trading dengan 0% pada biaya broker dan bunga margin.

Saat ini, bisnis utama Ajaib adalah platform investasi untuk saham dan reksa dana. Per Desember 2021, total investor Ajaib telah mencapai 1,4 juta orang. Dari angka tersebut, sebesar 96 persen merupakan investor pemula dan 90 persen masuk kelompok usia muda.

Sementara data BEI per akhir 2021 mencatat baru ada 7,48 juta investor retail di Indonesia. Namun, angka tersebut tumbuh signifikan sebesar 92,7 persen dibandingkan akhir 2020 yang hanya sekitar 3,88 juta investor.

Jika mengacu pada model bisnis Robinhood, platform trading dan investasi ini menerapkan komisi nol pada layanannya. Robinhood memonetisasi bisnis melalui sejumlah skema, termasuk margin trading, cash management fee, hingga Robinhood Gold.

Fintech akuisisi bank

Sempat dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan sejumlah faktor kuat yang melandasi aksi startup fintech mengakuisisi bank.

Akuisisi bank akan memampukan startup fintech untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Indonesia. Salah satunya lewat fasilitas pinjaman modal usaha dengan plafon lebih tinggi. Dalam catatan kami, beberapa startup fintech yang mengakuisisi bank ini fokus di segmen UMKM.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial.id

Faktor lainnya, bank-bank yang diakuisisi ini merupakan bank kecil. Mereka dicaplok dengan harga murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK. Lagi pula, akuisisi bank kecil lebih memudahkan perusahaan untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil.

Application Information Will Show Up Here

Waresix Dikabarkan Mendapat Pendanaan Tambahan Seri B 718 Miliar Rupiah

Startup logistik Waresix dikabarkan mendapatkan pendanaan tambahan untuk putaran seri B. Sejumlah investor yang tergabung di antaranya Tiger Global, Temasek, dan East Ventures. Menurut data yang sudah disetorkan ke regulator, kisaran dana yang didapatkan mencapai $50 juta atau setara 718,4 miliar Rupiah.

Capaian ini melambungkan valuasi perusahaan di angka $420 juta, memboyong Waresix sebagai salah satu penyedia platform teknologi logistik paling bernilai di Indonesia. Sebelumnya mereka membukukan pendanaan seri B senilai $100 juta dari sejumlah investor, termasuk East Ventures, Jungle Ventures, SoftBank Ventures Asia, EMTEK, Pavilion Capital, dan Redbadge Pacific. Berselang kurang dari satu tahun, MDI Ventures juga turut masuk ke pendanaan seri B tersebut.

Saat ini Waresix menyediakan teknologi logistik untuk dua solusi utama, yakni terkait manajemen transportasi dan warehouse. Di sektor transportasi, mereka mengembangkan platform Transportation Management System, memudahkan bisnis untuk mengelola penugasan pengantaran barang, pemantauan real time, administrasi pengemudi, hingga pelaporan.

Sementara untuk solusi warehouse, mereka memungkinkan bisnis untuk menemukan layanan gudang — dan memungkinkan pemilik gudang untuk menjual ruang yang mereka miliki secara efisien. Di tahun 2020, Waresix telah memiliki 30 ribu armada truk yang terhubung di platform dan 300 operator gudang di berbagai kota.

Perluasan bisnis juga direncanakan, salah satunya untuk masuk ke layanan logistik first-mile dan mid-mile yang belum terakomodasi. Tahun 2020 lalu, Waresix mengakuisisi Trukita yang dikenal sebagai portal marketplace untuk membantu pengguna menemukan penawaran jasa angkut barang dan truk untuk pengiriman.

Harapannya melalui aksi perusahaan ini, Waresix ingin mengakomodasi semua aspek di rantai pasokan melalui pendekatan teknologi, termasuk manajemen truk, pergudangan, transportasi multi-moda, dan manajemen vendor.

Layanan seperti yang disediakan Waresix menjadi relevan di Indonesia. Kondisi yang berbentuk negara kepulauan membuat biaya logistik di menjadi salah satu yang tertinggi di Asia, bahkan berkontribusi terhadap seperempat dari produk domestik bruto Indonesia yang mencapai $1 triliun.

Posisi Indonesia dalam Indeks Daya Saing Logistik 2018 yang dirilis Bank Dunia memang terus membaik. Namun, rasio biaya logistik terhadap PDB Indonesia masih mencapai 24%, tertinggal dari Thailand dan Malaysia. Kondisi tersebut menciptakan potensi senilai $240 miliar dalam sektor logistik di Indonesia. Biaya logistik yang tinggi tidak hanya melemahkan daya saing industri, tetapi juga meningkatkan cost of doing business bagi pelaku UKM di Indonesia.

Dengan berbagai solusi yang unik, banyak startup lokal yang mencoba peruntungan di dunia logistik. Beberapa model bisnis mereka tervalidasi baik dan mendapatkan dukungan investor, di antaranya:

Tiket.com Pertimbangkan Merger dengan Blibli Sebelum IPO

Platform OTA Tiket.com dilaporkan tengah mempertimbangkan merger dengan e-commerce Blibli untuk memuluskan rencana IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kabar tersebut pertama kali mencuat dari pemberitaan Bloomberg.

Sebelumnya kepada DailySocial.id, baik Tiket.com maupun Blibli mengonfirmasi bahwa saat ini valuasinya sudah lebih dari $1 miliar dan masuk ke jajaran unicorn. Sehingga aksi go public dengan penggabungan bisnis ini dapat menghasilkan gabungan valuasi setidaknya $2 miliar saat IPO.

“Penjajakan [merger dengan Tiket] tengah berlangsung tetapi belum ada keputusan final,” ungkap sumber tersebut. Baik perwakilan COVA dan Tiket.com menolak berkomentar terkait rencana merger ini. Sementara, perwakilan Blibli belum menanggapi kabar tersebut.

Apabila ini rencana ini benar, Tiket.com ini berpotensi bergabung ke PT Global Digital Niaga yang menaungi Blibli, sebelum melantai di bursa saham — atau membuat sebuah entitas holding seperti yang dilakukan GoTo. Kedua perusahaan mengandalkan konglomerat Djarum Group untuk mendukung IPO ini.

Sebelumnya, Blibli dikabarkan bekerja sama dengan Credit Suisse Group AG dan Morgan Stanley untuk merealisasikan rencana IPO ini.

Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Tiket.com awalnya juga mempertimbangkan untuk merger dengan COVA Acquisition Corp dengan nilai $2 miliar. Namun, menurut laporan terbaru Bloomberg, sumber menyebut pembicaraan dengan perusahaan cek kosong atau SPAC ini dihentikan karena tidak menemui titik temu.

Selain opsi SPAC, Chief Executive Officer George Hendrata juga tengah mengeksplorasi opsi IPO secara tradisional serta kemungkinan untuk melakukan penggabungan bisnis dengan salah satu super app di Asia Tenggara.

Tiket.com resmi diakuisisi sepenuhnya oleh Blibli yang berada di bawah naungan GDP Ventures. Adapun, GDP Venture merupakan perusahaan venture capital di sektor digital milik Djarum Group. Platform ini tercatat memiliki jaringan lebih dari 90 maskapai penerbangan serta 2,8 juta hotel dan penginapan lainnya. 

Blibli.com merupakan platform e-commerce yang mengandalkan model bisnis B2C, B2B, hingga B2B2C untuk memasarkan berbagai produk dengan lebih dari 100.000 mitra bisnis.

Sinergi

Jika IPO ini terealisasi, Blibli bakal menyusul PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) yang go public dengan opsi merger. GoTo resmi melantai di BEI hari ini, Senin (11/4), dan berhasil memperoleh dana IPO sebesar Rp15,8 triliun.

Pada kasus Blibli dan Tiket.com, sinergi keduanya sudah lebih dulu terjalin manakala keduanya mengumumkan integrasi akun pengguna dan program loyalitas di masing-masing platform pada Februari 2022 lalu. Sinergi ini diklaim menjadi yang pertama antara platform e-commerce dan OTA di Indonesia.

Kemudian, Blibli juga bermitra secara eksklusif dengan bank digital “blu”, yang juga anak usaha BCA yang dimiliki Djarum Group. Seperti halnya kolaborasi Tiket dan Blibli, sinergi ini diklaim juga yang pertama antara e-commerce dan bank digital.

Dalam skala besar, merger ini memungkinkan Blibli untuk mengeksekusi bisnis utamanya untuk memenangkan pasar online dan offline di Indonesia, terutama di segmen UMKM.

Saat ini baik Tiket.com dan Blibli juga turut didukung Cermati Fintech Group, salah satunya dengan mengaplikasikan layanan paylater dari Indodana (salah satu produk CFG). Adapun Cermati juga sebelumnya telah menjadi bagian dari Djarum Group melalui investasi strategis yang digelontorkan. Selain paylater, mereka memiliki sejumlah layanan finansial lainnya, termasuk insurtech, agregator, hingga open finance.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

Peluang dan Strategi “Hyperlocal” Agriaku Tangani Isu Agraris Bagian Hulu

Belakangan, upaya mendemokratisasi industri agrikultur semakin kencang lewat kehadiran berbagai startup agritech. Mereka ada mencoba untuk menyelesaikan bagian hulu dan hilir, mencari titik masalah yang selama ini mendera para petani dengan kapabilitas yang ada. Agriaku pun turut berpartisipasi dengan masuk ke segmen pra-panen sebagai fase awalnya.

Co-founder dan CEO Agriaku Danny Handoko membagikan pandangan dan harapannya di industri ini dalam sesi #SelasaStartup yang digelar kali ini. Agriaku hadir sebagai solusi bagi para mitra AgriAku (trader dan pemilik toko pertanian) untuk mendapatkan saprotan (sarana produksi pertanian) dengan harga yang terjangkau. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut rangkumannya:

Selesaikan isu di bagian hulu

Danny menjelaskan, dalam sistem rantai pasok di industri agrikultur, terdiri atas pra-panen, produksi, pasca-panen, dan pengolahan, sampai akhirnya sampai ke tangan konsumen. Solusi yang disediakan oleh pemain agritech sejauh ini pun beragam, ada yang fokus dengan menyediakan solusi e-commerce untuk konsumen, finansial untuk bantu petani beli pupuk, dan sebagainya. Namun, solusi di hulu tepatnya di pra-panen belum banyak yang melirik.

Adapun solusi di pra-panen itu, bagaimana barang-barang pertanian dari prinsipal dapat memiliki rantai pasok yang transparan dan sampai merata di seluruh toko tani yang ada di Indonesia. Toko tani itu sendiri adalah unsur terdekat yang ada di petani yang menghubungkan petani dengan produsen atau distributor tingkat pertama. Semakin baik rantai pasok distribusi barang, maka memungkinkan petani mendapatkan katalog produk pertanian yang lengkap dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

“Toko tani ini sudah lama ada di Indonesia, jumlah sekitar 200 ribu toko di seluruh Indonesia. Karena sudah lama, maka sudah terbangun kepercayaan dengan para petani,” kata Danny.

Dengan latar belakang demikian, maka Agriaku menyediakan platform e-commerce yang menyediakan saprotan terlengkap dibanding toko tani biasa, mulai dari benih, obat-obatan dan nutrisi, pupuk dan juga alat pertanian. Dengan sistem pencatatan dan kasir AgriAku, agen juga dapat membuat rekaman digital akurat sehingga bisa mempermudah pekerjaan dan mempercepat perkembangan bisnis.

Diklaim saat ini Agriaku telah menggaet puluhan ribu toko tani untuk memakai aplikasi Agriaku dengan average revenue per user tembus di angka puluhan juta. Para penggunanya tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan beberapa titik di Sulawesi. Pencapaian terus akan ditingkatkan demi mewujudkan ambisi Agriaku menjadi pemain yang dominan di segmen ini.

Pendekatan terlokalisasi

Salah satu poin menarik yang disampaikan Danny adalah di industri agri ini tidak bisa serta merta mencaplok solusi yang ada di global langsung diterapkan di Indonesia. Di global sudah mengenal mekanisasi dengan menggunakan perangkat drone untuk meningkatkan presisi operasional para petani.

Namun, solusi tersebut tidak 100% tidak bisa diimplementasikan di Indonesia karena di sini para petani rata-rata memiliki lahan sekitar dua hingga tiga hektar. Sedangkan di negara maju, satu petani bisa mengelola ribuan hektar lahan. Untuk membawa solusi global ke Indonesia, maka implementasinya harus hyperlocal.

Terlebih, infrastruktur koneksi internet di sini masih banyak blind spot sehingga seluruh proses bisnis tidak bisa dipaksakan sepenuhnya online. Alhasil, pendiri startup perlu menyeimbangkan operasional di online dan offline, agar tetap efisien.

“Ini tantangan menarik bagi tech player, di negara maju yang penetrasi internetnya baik, pasti lebih mudah adopsinya ketika diperkenalkan solusi baru. Tapi di Indonesia keterbatasan ini menjadi tantangan tersendiri.”

Bagi Agriaku, agar menjadi hyperlocal maka pendekatan di lapangan punya peranan yang cukup krusial. Tim perlu memperkenalkan aplikasinya ke para pemilik toko tani untuk menarik kepercayaan dan mau digunakan. Fungsi aplikasi tidak hanya permudah mereka mendapatkan produk pertanian terbaik, juga meningkatkan pundi-pundi pendapatan mereka karena dapat harga yang lebih hemat.

Green Rebel Dapat Pendanaan 100 Miliar Rupiah, Gencarkan Ekspansi Asia Tenggara

Salah satu startup pertama di segmen protein alternatif Indonesia, Green Rebel, berhasil meraih pendanaan pra-seri A senilai $7 juta atau setara 100 miliar Rupiah. Putaran pendanaan ini diikuti oleh beberapa investor termasuk Unovis, Betterbite Ventures, AgFunder, Teja Ventures, Grup CJ, dan pengusaha kelahiran Singapura Kane Lim.

Pendanaan kali ini disebut akan digunakan untuk mendorong ekspansi regional dan pengembangan produk baru, menjelang pendanaan seri A. Singapura adalah negara pertama di luar Indonesia yang jadi tujuan Green Rebel, diikuti Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Australia yang dijadwalkan pada akhir tahun 2022.

“Pendanaan putaran baru ini akan membantu kami memperluas tim R&D kami lebih jauh dan meningkatkan produksi, untuk memungkinkan kami meluncurkan ke pasar baru dalam beberapa tahun ke depan,” ujar Helga, salah satu Founder Green Rebel.

Diluncurkan di Indonesia pada September 2020, Green Rebel menawarkan alternatif daging nabati utuh untuk konsumen Asia Tenggara yang mencari pola makan fleksibel yang lebih sehat. Green Rebel tersedia di lebih dari 800 perusahaan F&B di Indonesia termasuk Starbucks, Ikea dan Domino, dan lebih dari 100 pengecer nasional.

Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh pasangan Indonesia Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias — keduanya vegan lama — yang berkomitmen untuk mendemokratisasi makanan nabati dengan membuatnya terjangkau dan mudah diakses.

“Tujuan kami dengan Green Rebel adalah membuat lebih banyak orang terbuka untuk makan nabati lebih sering — memungkinkan konsumen Asia untuk menganut pola makan fleksibel yang berpusat pada tumbuhan,” kata Helga.

Green Rebel telah menggabungkan keahlian kuliner, pengetahuan nutrisi, dan teknologi pangan untuk menciptakan bahan dasar alternatif daging nabati yang benar-benar lezat. Semua produk Green Rebel dikuratori dan dibuat dari bahan nabati alami, dan tanpa tambahan MSG, pengawet, dan gula rafinasi. Hasilnya adalah rangkaian cita rasa khas Indonesia dan Asia yang menarik dan menggugah selera di belahan dunia ini.

Semua produk Green Rebel dirancang dengan cermat untuk dimasak dengan metode berbeda yang populer di wilayah ini, mulai dari hotpot dan tumis hingga memanggang, mengukus, dan banyak lagi. Perusahaan telah memiliki sejumlah kemitraan makanan dan minuman yang signifikan di seluruh Indonesia, bekerja dengan Domino’s Pizza, Starbucks dan IKEA, serta jaringan lokal ABUBA Steak dan Pepperlunch. Green Rebel juga menawarkan produknya di rantai pabrik Burgreens, yang juga dimiliki Angelina dan Andias.

Rencana ke depan

Belum lama ini, Green Rebel telah diluncurkan di Singapura. Pengunjung dapat merasakan cita rasa yang unik di kawasan ini, mulai dari masakan klasik Tiongkok nabati seperti daging sapi lada hitam dan babi asam manis, masakan favorit Asia Tenggara tanpa daging seperti rendang dan sate, dan bahkan makanan pokok Barat yang sangat disukai seperti steak dan pasta yang lezat

Dinamai berdasarkan salah satu pendiri dan kepala inovasi Max Mandias, ini adalah serangkaian proses unik yang berhasil meniru pengalaman makan daging asli. Di antaranya adalah formulasi eksklusif dari minyak kelapa, air dan bumbu vegan alami. Dibuat melalui teknologi emulsi, ia bertindak sebagai pengganti lemak hewani untuk mencapai rasa, aroma, dan kesegaran khas yang diasosiasikan dengan protein hewani.

“Kami ingin membuktikan bahwa alternatif daging nabati bisa lezat dan sehat,” kata Max, yang memanfaatkan pengalaman kulinernya di Amsterdam untuk menghadirkan cita rasa khas Green Rebel. “Buktinya ada di makan.”

Untuk peluncurannya di Singapura, Green Rebel telah bermitra dengan restoran-restoran populer untuk menawarkan kepada para pengunjung di sini sajian hidangan populer yang lezat, menggunakan produk-produknya seperti Rendang Tanpa Daging yang laris dan Steak Tanpa Daging yang inovatif, serta Potongan Tanpa Daging Sapi, Fillet Chick’n dan Chick’n Karaage. Selain itu, perusahaan katering Invictus Asia juga akan memperkenalkan produk Green Rebel ke dalam pilihan hidangan mereka.

Salah satu pionir di segmen protein alternatif di Indonesia adalah Green Rebel. Rintisan karya anak bangsa ini didirikan oleh Max Mandias dan Helga Angelina – pasangan aktivis praktisi pola makan sehat dan ramah lingkungan untuk di Indonesia. Mereka menjadi startup teknologi pangan pertama di Indonesia yang memproduksi daging dan keju nabati “Michal dan Simon percaya pada kami dan potensi kami sejak awal, melalui semua pasang surut” ungkap Helga Angelina, salah satu pendiri Green Rebel.

“Satu hal yang paling penting yang kami lihat pada Green Rebel adalah konsep lokal yang ditawarkan. Di antara sekian banyak restoran yang menawarkan konsep protein alternatif dengan gaya “western food”, Green Rebel hadir dengan pendekatan yang lebih lokal, menggunakan menu-menu tradisional,” ungkap Michal.

Dalam beberapa bulan mendatang, daging Green Rebel akan ditampilkan di restoran lain termasuk restoran speakeasy Dragon Chamber, roastery kopi Indonesia dan kafe Tanamera Coffee, dan kafe kasual Grain Traders. Green Rebel juga akan bermitra dengan pusat gaya hidup F&B multi-label, The Refectory untuk menu khusus untuk bazaar artisanal dua bulanan yang terakhir pada akhir April. Green Rebel akan didistribusikan secara eksklusif oleh penyedia solusi makanan terkemuka, Indoguna Singapura di seluruh dunia F&B kota, dan dalam beberapa bulan ke depan, paket ritel yang ditujukan untuk masakan rumahan akan diluncurkan untuk konsumen

Impact Credit Solution Rebranding Menjadi Nikel, Kantongi Pendanaan 36 Miliar Rupiah

Setelah resmi mengumumkan kehadirannya di Indonesia tahun lalu, Impact Credit Solution melakukan rebranding menjadi Nikel. Seperti diketahui sebelumnya, mereka berperan membantu perusahaan teknologi yang ingin menghadirkan kapabilitas pinjaman modal dengan memberikan jembatan akses ke perbankan.

Produk utama mereka “Single API ICS”, memungkinkan klien membuat produk pinjaman yang memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan, sambil memberi akses ke modal bank berbiaya rendah untuk mendanai pinjaman. Nikel juga menawarkan beberapa produk seperti Nikel Lend, Nikel Fund, dan Nikel Market.

Berbasis di Singapura Nikel didirikan oleh Reinier Musters (CEO) dan Mackenzie Tan (COO). Untuk memaksimalkan bisnisnya di Indonesia, mereka juga telah menunjuk Dewi Wiranti sebagai Country Head. Indonesia dinilai menjadi pasar yang memiliki potensi besar bagi mereka untuk menghadirkan solusi tersebut.

Kepada DailySocial.id, Mackenzie bercerita bahwa dengan memanfaatkan pelanggan atau merchant yang dimiliki perusahaan teknologi di masing-masing platform, ICS melalui Single API menghadirkan teknologi dan koneksi antara dua pihak pinjaman kepada pelanggan.

“ICS adalah perusahaan teknologi keuangan yang melayani pinjaman UMKM di Asia Tenggara. Kami membangun embedded lending solution yang dapat digunakan oleh perusahaan teknologi, P2P, atau bank mana pun untuk membuat produk pinjaman.”

Kantongi pendanaan Seri A1

Selain melakukan rebranding, Nikel juga telah mengantongi pendanaan tahapan seri A1 dari sejumlah investor. Tercatat Nikel berhasil memperoleh dana segar senilai $2,5 juta atau setara 36 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Vectr Fintech. Investor lain yang terlibat dalam pendanaan kali ini di antaranya adalah Patamar Capital, Mitra M Venture, Looking Glass Ventures, dan alokasi dana pribadi dari pendiri Nikel yaitu Mackenzie Tan.

Disinggung tentang pendanaan baru ini Mackenzie enggan untuk menyebutkan lebih lanjut. Dirinya menegaskan pendanaan ini merupakan tahap pertama dari putaran penggalangan dana yang lebih besar. Informasi lebih lanjut akan dibagikan oleh mereka setelah putaran pendanaan yang lebih besar telah final.

Sebelumnya Nikel telah mengumpulkan pendanaan dari bank dan perusahaan modal ventura terkemuka termasuk BCA, Patamar Capital, 500 Startups, Mitra Integra, Mitra M Venture, dan lainnya. Nikel telah menerima dukungan dari U.S. Development Finance Corporation, USAID, dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.

Akhir tahun 2021 lalu Nikel juga telah menjalin kerja sama strategis dengan bank BCA, menawarkan pembiayaan yang terjangkau untuk sektor kesehatan Indonesia selama pandemi. Investasi strategis dengan bank BCA disebutkan oleh Dewi Wiranti sebagai Country Head di Indonesia adalah memungkinkan mereka untuk memberikan likuiditas yang dibutuhkan di sektor kesehatan, untuk memastikan keluarga-keluarga di Indonesia menerima perawatan dan pasokan medis yang memadai selama pandemi ini.