“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

Peroleh Izin, Grup Modalku Resmi Ekspansi ke Thailand

Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura dan Malaysia) mengumumkan ekspansi ke Thailand, pasca mengantongi lisensi crowdfunding pinjaman oleh regulator Thailand Securities and Exchange Commission (SEC). Di bawah brand Funding Societies, perusahaan akan fokus menawarkan pinjaman usaha untuk pelaku UMKM dan alternatif investasi untuk para pendana.

Bicara pangsa pasar, terdapat lebih dari 50% dari total 3 juta UMKM di Thailand terhambat bisnisnya karena sulit memperoleh pinjaman usaha, khususnya pinjaman modal usaha jangka pendek. Sama seperti di Indonesia, institusi keuangan konvensional di sana lebih fokus ke pinjaman jangka panjang atau pinjaman dengan agunan.

Menurut International Finance Corporation, situasi ini menyebabkan adanya kesenjangan dana usaha lebih dari $40 miliar bagi UMKM Thailand. Kurangnya pendanaan ini diperparah oleh pandemi Covid-19, yang mana kreditur telah mengurangi akses pinjaman demi mengelola risiko finansial.

“UMKM berkontribusi terhadap 40% dari PDB Thailand, tetapi segmen ini menghadapi banyak tantangan saat berusaha mengakses pinjaman dari institusi konvensional, mulai dari kurangnya aset untuk jaminan, persyaratan dokumen yang sulit, dan proses persetujuan yang panjang,” ucap Country Head Funding Societies Thailand Varun Bhandari dalam keterangan resmi, Rabu (10/2).

Di negara tersebut, Funding Societies akan menyediakan berbagai opsi pinjaman tanpa agunan untuk membantu UMKM ekspansi bisnis, memperoleh usaha, atau membiayai proyek. Pemilik usaha dapat mengisi formulir aplikasi online yang simpel, mengirimkan beberapa dokumen, lalu menerima persetujuan pinjaman dalam tiga hari kerja.

Grup Modalku juga telah mengadakan kerja sama regional dengan Lazada, Zilingo, dan Bank CIMB untuk turut melayani UMKM dalam ekosistem mereka.

Dari sisi pendana, mereka dapat masuk ke dalam platform crowdfunding untuk mengakses kesempatan mendanai berbagai pinjaman usaha. Melalui aktivitas pendanaan, pendana mendapat kesempatan diversifikasi alternatif investasi yang menarik.

Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya menambahkan, “Harapan kami dengan semakin luasnya jangkauan Grup Modalku di Asia Tenggara, khususnya Thailand, kami bisa mendukung lebih banyak UMKM berpotensi untuk mengembangkan bisnisnya. [..] Melalui kolaborasi antar negara, Grup Modalku akan terus berinovasi untuk menjadi platform fintech terpilih.”

Di tengah pandemi, manajemen risiko Grup Modalku yang kuat telah mempertahankan tingkat default pinjaman di bawah 2%.

Modalku menyediakan layanan p2p lending untuk UMKM yang berpotensi dengan pinjaman modal tanpa jaminan hingga Rp2 miliar. Sampai saat ini, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha sekitar Rp21,8 triliun kepada lebih dari 3,7 juta transaksi pinjaman.

Di Negeri Gajah Putih ini, juga diwarnai oleh segelintir startup dari Indonesia yang pede untuk keluar kandang. Investree dan DanaCita adalah dua perusahaan yang datang dari fintech lending. Investree sendiri dalam kabar terakhir tinggal menunggu izin di keluarkan oleh SEC, perusahaan ini baru mengantongi izin operasional di Filipina.

Sebagian besar perusahaan datang dari luar Indonesia, mayoritas dari Singapura, lalu masuk ke Indonesia dengan melokalisasi nama brand-nya. Kredit Pintar termasuk dalam kelompok ini.

Di vertikal lain, ada Gojek, Jet Commerce, JavaMifi, PasarPolis, Jala (masih finalisasi) yang beroperasi di Thailand. Sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipina juga turut disasar oleh Ruangguru, Sociolla, Xendit, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Grup Ritel D2C Hypefast Kembali Berikan Pendanaan ke Pengembang Brand Lokal, Giliran NOORE Sport Hijab

Grup ritel direct-to-consumer (D2C) Hypefast kembali mengumumkan pendanaannya untuk pengembang brand lokal. Dengan nominal yang tidak disebutkan, perusahaan berinvestasi ke NOORE Sport Hijab. Startup fesyen olahraga mulsimah tersebut didirikan sejak tahun 2017 di Bandung oleh Adidharma Sudradjat.

Mengadopsi model bisnis D2C, NOORE fokus mengakomodasi penjualan melalui kanal online langsung ke konsumen. Saat ini mereka juga telah memiliki kehadiran di Malaysia, yang menjadi pasar prioritas selanjutnya setelah Indonesia.

“Sejak awal, kami telah mengagumi ambisi Hypefast untuk mendorong brand Indonesia menjadi brand regional bahkan global, dengan segala support system yang dimiliki untuk mempercepat pertumbuhan bisnis. Selain itu, kesamaan visi antara NOORE dan Hypefast menjadi pendorong yang kuat untuk kerja sama ini,” ujar Adidharma.

Selanjutnya Adidharma akan bergabung ke tim Hypefast dan terus aktif untuk mengembangkan NOORE.

Sementara itu, Founder & CEO Hypefast Achmad Alkatiri menambahkan, “NOORE adalah brand yang inovatif dan disruptif di kategori activewear, karena dirancang khusus dalam memberikan kenyamanan maksimal untuk muslimah berhijab ketika berolahraga, dengan tetap menjunjung nilai kesopanan melalui desain yang stylish dan cutting yang longgar.”

NOORE menawarkan koleksi sportwear hijab yang cukup lengkap, mulai dari hijab, atasan, celana, outerwear, hingga berbagai pilihan baju renang dan aksesoris dalam harga yang relatif terjangkau.

Akhir Desember 2020 lalu, Hypefast juga baru mengumumkan pendanaannya untuk Bonnels (brand produk kesehatan dan kecantikan) besutan Denny Santoso. Sehingga secara keseluruhan perusahaan telah berinvestasi pada 14 pengembang brand lokal dari berbagai kategori.

Bisnis Hypefast adalah mengembangkan tim, ekosistem, dan dana untuk membantu brand berkembang dan berekspansi dengan cepat. Selain modal usaha, layanan yang diberikan termasuk membantu dari sisi pemasaran, produksi, operasi, hingga pengelolaan data melalui teknologi.

Pertumbuhan sektor D2C

D2C atau new economy, mulai mewarnai industri startup di Indonesia beberapa waktu terakhir. Beberapa brand produk bermunculan, mulai dari makanan, kopi, kesehatan, kecantikan dan lain-lain. Beberapa pemodal ventura pun juga mulai melirik sektor tersebut.

Pemain besar seperti Gojek juga mulai melirik sektor tersebut. Pendekatannya sedikit berbeda, mereka memilih memanfaatkan program akselerator Xcelerate untuk menjaring startup D2C lokal untuk dibina dan dibantu melalui kekuatan di ekosistem Gojek.

Selain Hypefest, di Indonesia ada beberapa kalangan investor yang juga sudah mulai menjamah startup D2C, beberapa di antaranya East Ventures, Alpha JWC Ventures, ANGIN, BRI Ventures, dan Salt Ventures.

Grab Umumkan Kerja Sama dengan Yummy Corp, Perluas Cakupan Cloud Kitchen

Grab mengumumkan kerja sama dengan Yummy Corp untuk perluas cakupan bisnis para pelaku usaha kuliner di Indonesia. Bila digabungkan kini kedua perusahaan mengoperasikan lebih dari 80 cloud kitchen di seluruh Indonesia.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada hari ini (8/2), Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menegaskan dalam kerja sama ini tidak ada komitmen investasi yang diberikan Grab untuk Yummy Corp. Hanya berbentuk MoU sebagai bentuk komitmen dari kedua perusahaan untuk mendukung kuliner di Indonesia.

“Kerja sama dengan Yummy Corp didasari kesamaan visi untuk menawarkan konsep baru di industri kuliner sebagai bentuk dukungan Grab terhadap industri ini di Indonesia,” terangnya.

Secara terpisah, dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Yummy Corp Mario Suntanu mengatakan, “Misi kami adalah mendukung para pelaku usaha kuliner untuk tumbuh di era digital baru dengan menyediakan solusi ekspansi yang terkelola melalui cloud kitchen. Kami sangat senang bisa bekerja sama dengan Grab untuk membawa misi kedua perusahaan ke tingkat selanjutnya, di mana kecepatan ekspansi, kualitas makanan, dan kepuasan pelanggan akan selalu menjadi fokus utama kami.”

Implementasi selanjutnya dari kerja sama tersebut adalah Yummy Corp akan menyediakan manajemen operasional termasuk merekrut lebih banyak staf di GrabKitchen, merchant Yummy Corp tergabung ke dalam platform GrabFood dan mengakses fitur-fitur di dalamnya, sehingga mereka dapat menerima keuntungan maksimal.

Terakhir, mendorong inovasi di industri kuliner melalui kolaborasi dengan brand dan chef. Grab dan Yummy Corp berencana untuk bekerja sama dengan pelaku usaha kuliner untuk menciptakan konsep baru, mengujinya di platform GrabFood, dan mengembangkannya di jaringan cloud kitchen Grab dan Yummy Corp.

Hal ini memungkinkan pelaku usaha kuliner untuk mengambil pendekatan berbasis data guna bereksperimen dan menguji konsep baru secara langsung, dengan biaya minim. “Sinergi ini akan memberi keleluasaan bagi konsumen dan mitra resto yang ingin ekspansi, atau sekadar test the water di lokasi cloud kitchen Grab dan Yummy.”

Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi dan Head of Marketing GrabFood Hadi Surya Koe / Grab
Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi dan Head of Marketing GrabFood Hadi Surya Koe / Grab

Konsep cloud kitchen sendiri sekarang memang sedang banyak digandrungi penyedia layanan food delivery. Gojek selaku kompetitor utama Grab di Indonesia juga mengusung pendekatan yang sama. Melalui investasinya ke startup cloud kitchen asal India, yakni Rebel Foods, Gojek memboyong layanan tersebut ke Indonesia melalui PT Rebel GoFood Indonesia (Dapur Bersama GoFood).

Riset dari Momentum Works mengatakan, di Indonesia GMV layanan pesan-antar makanan telah mencapai 52 triliun Rupiah di tahun 2020. Perolehan tersebut didominasi oleh Grab dan Gojek, masing-masing memegang 53% dan 47% dari total pangsa pasar.

Kontributor bisnis terbesar

Neneng juga menuturkan, bisnis GrabFood menopang 50% terhadap keseluruhan bisnis Grab secara keseluruhan. Tidak dirinci lebih lanjut bagaimana kontribusi dari Indonesia, atau lainnya. “Kami bangga mengatakan Grab itu adalah super app company karena 50% bisnis kami, baik itu transaksi, revenue, dan sebagainya, disumbang oleh GrabFood.”

Grab mengubah strategi tak lagi mengandalkan bisnis transportasi, apalagi di tengah pandemi yang masih berlangsung. Sejak tahun lalu perusahaan banyak berinvestasi untuk layanan food delivery, termasuk mengantar kebutuhan sehari-hari dengan GrabMart dan GrabAsisstant.

Meski tidak disebutkan dengan angka, diklaim pertumbuhan mitra merchant di GrabFood yang aktif beraktivitas di platform Grab sepanjang tahun lalu bertambah signifikan. Merchant GrabMart juga terus bertambah, mulai dari supermarket, convenience store, apotek, dan startup seperti Sayurbox, TaniHub, dan WarungPintar. Berkat kemitraan tersebut GrabMart telah menjangkau 19 kota.

Tak hanya itu, menyediakan GrabMart Daily untuk memenuhi kebutuhan harian berkat kerja sama dengan sejumlah brand FMCG. Layanan ini baru tersedia di sembilan lokasi di area Jakarta, misalnya Duren Sawit, Kemayoran, Lebak Bulus, Setiabudi, Daan Mogot, Tendean, dan Kebayoran Lama.

Adapun untuk lokasi GrabKitchen telah tersebar di 46 lokasi di tujuh kota, di antaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Terdapat lebih dari 200 brand yang tergabung dalam jaringan cloud ini.

Tidak fokus memperbanyak mitra merchant saja, perusahaan juga banyak mengembangkan sejumlah fitur untuk mempermudah konsumen. Di antaranya Ambil Sendiri, Pemesanan Terjadwal, Pesan Bareng Teman, Multi Order, Pesan Ulang.

Lalu, Pesan Sekaligus dari berbagai merchant yang berlokasi di satu gedung/jalan; Promosi Terbaik untuk menyaring daftar merchant yang berpartisipasi dalam promosi tertentu; perbanyak opsi pembayaran non tunai untuk GrabFood; memberi tip sebelum transaksi selesai.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

PasarPolis Umumkan Pendanaan Lebih dari 70 Miliar Rupiah dari IFC

Startup insurtech PasarPolis mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan sebesar $5 juta (lebih dari 70 miliar Rupiah) dari International Finance Corporation (IFC), institusi keuangan di bawah naungan Bank Dunia yang fokus pada percepatan inklusi dan literasi keuangan di berbagai negara berkembang. Pendanaan ini direngkuh selang empat bulan setelah mengumumkan Seri B sebesar $54 juta.

Kedua perusahaan akan bersama-sama melanjutkan dan memperkuat misi PasarPolis untuk mendemokratisasi asuransi secara lebih luas, salah satunya melalui pengembangan inovasi produk asuransi mikro yang terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing mengatakan, perusahaan membutuhkan mitra kelas dunia yang bisa memperkuat misi PasarPolis yang bisa dikatakan berat dalam rangka mendorong penetrasi asuransi di Asia Tenggara.

“Kami siap melanjutkan misi PasarPolis untuk menjawab tantangan inklusi asuransi di Asia Tenggara masih jadi PR yang besar, tapi melalui teknologi dan produk asuransi mikro bisa memberi akses agar dapat menciptakan dampak yang lebih baik,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Kamis (4/2).

Senior Country Officer IFC Jack Sidik menambahkan, investasi ini adalah salah satu rangkaian IFC dalam membantu pemulihan ekonomi Indonesia melalui berbagai inisiatif di sektor swasta. Dalam dua bulan ini IFC telah mengerahkan dana sebesar Rp5 triliun, paling banyak diarahkan untuk sektor manufaktur yang paling banyak terkena dampak.

“Untuk PasarPolis berupa [investasi] ekuitas sebesar $5 juta. Kami akan bantu PasarPolis perluas penetrasi asuransi dalam rangka meningkatkan ekonomi digital. Dengan demikian, para pekerja Indonesia beserta keluarganya bisa memiliki asuransi dan jaring pengaman lainnya,” ucap Jack.

Secara terpisah, dalam keterangan resmi, Partner LeapFrog Investments Fernanda Lima mengatakan, kerja sama antara IFC dan PasarPolis menunjukkan besarnya potensi dari perlindungan asuransi dengan harga terjangkau, guna meningkatkan dampak sosial yang positif. “Dengan 30 perusahaan asuransi dan 25 mitra digital yang bersama-sama melayani jutaan pengguna baru selama 2020 lalu, peluang PasarPolis untuk memperluas jangkauan dan layanannya sangat luar biasa.”

Terkait penggunaan dana segar, Cleosent hanya merinci bahwa perusahaan akan terus memberikan pengalaman terbaik bagi konsumen, mulai dari proses pemilihan produk hingga proses klaim. Dari sisi teknologi juga terus ditingkatkan agar dapat lebih mudah digunakan oleh masyarakat prasejahtera dan di daerah terpencil, yang selama ini baru memanfaatkan teknologi digital secara terbatas.

Ia juga menegaskan, fokus PasarPolis lainnya adalah meningkatkan penetrasi dan literasi asuransi di negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam dan Thailand yang masih menjadi salah satu prioritas di 2021. “Dari sisi industri, Vietnam dan Indonesia memiliki kriteria pasar asuransi yang serupa, meski kesadaran asuransi di Vietnam relatif lebih rendah daripada Indonesia, Thailand merupakan pasar asuransi yang cukup matang dengan tingkat penetrasi lebih tinggi.”

Disebutkan saat ini PasarPolis memiliki lebih dari 80 produk yang dirancang secara khusus dapat meringankan beban dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang unik antara satu sama lain. Selama lima tahun beroperasi, diklaim perusahaan telah memberikan perlindungan kepada 11% populasi masyarakat Indonesia atau sekitar 30 juta orang.

Sebanyak 90% dari konsumen PasarPolis adalah first time buyer, dan 40% pemegang polisnya adalah pekerja sektor informal, seperti pengemudi ojek online, kurir, dan pelaku UMKM online.

Application Information Will Show Up Here

Layanan Paylater Asal Singapura “Pace” Mengudara, Mulai Melirik Pasar Indonesia

Sebuah startup fintech baru Pace Enterprise meluncur di Singapura. Didirikan oleh Turochas “T” Fuad yang juga dikenal sebagai pendiri Spacemob [diakuisisi oleh WeWork pada tahun 2017], startup ini menawarkan paylater yang bertujuan untuk menghadirkan akses dan inklusi keuangan pada segmen yang kurang terlayani di wilayah Asia Pasifik.

DailySocial mewawancara pihak Pace terkait peluncuran layanan ini, mereka menyinggung tentang industri BNPL (buy-now-pay-later) yang masih sangat baru di Asia Tenggara namun optimis bahwa ini hanya masalah waktu sebelum paylater mendominasi sebagai metode pembayaran. Hal ini didorong oleh keinginan konsumen untuk memiliki kendali lebih besar atas pengeluaran mereka.

Dikutip dari e27, “Alasan kami meluncurkan Pace –dan tujuan jangka panjang kami– adalah untuk menciptakan platform fintech digital yang lebih luas dan lebih inklusif yang memberdayakan populasi yang kurang terlayani. Untuk mencapai hal ini, BNPL adalah langkah pertama yang tepat yang secara fleksibel dan mulus memperluas batas pembelian pelanggan sambil memberi pedagang akses ke alternatif pembiayaan dan segmen pelanggan yang sama sekali baru,” ujar Founder & CEO Pace T. Fuad.

Layanan ini telah berhasil mengumpulkan pendanaan tahap awal dengan nilai yang disebut “high seven-figure” atau sekitar $6 juta hingga $9 juta yang dipimpin oleh Vertex Ventures dan Alpha JWC Ventures. Dana ini akan digunakan untuk mengembangkan platformnya lebih baik dan menawarkan layanan dan solusi progresif kepada konsumen dan pedagang.

Model bisnis

Pace mulai bergulir pada November 2020, menggunakan algoritma pembuatan profil keuangan. Platform ini akan mencocokkan profil pelanggan dengan batas pengeluaran paling sesuai yang memungkinkan mereka membagi pembelian menjadi tiga cicilan tanpa bunga.

Perusahaan juga mengklaim telah dengan cepat menambahkan lebih dari 300 titik penjualan dari lebih dari 200 mitra pedagang, termasuk Goldheart, OSIM, Sincere Watch, Carousell, Reebonz, dan FJ Benjamin.

BNPL dipercaya sebagai salah satu solusi yang bisa diimplementasi oleh berbagai kalangan, karena memberikan cara bagi bisnis untuk meningkatkan pendapatan dengan menjangkau audiens baru di semua industri.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater. Implementasinya muncul di banyak aplikasi, mulai dari dompet digital, pemesanan tiket, sampai yang paling populer di platform e-commerce dan/atau online marketplace.

Pihaknya menambahkan “Kami juga percaya bahwa budaya unik setiap negara akan mendorong perbedaan penggunaan BNPL di antara berbagai sektor. Meskipun demikian, kami telah melihat banyak daya tarik dalam kategori layanan, fesyen, dan olahraga & kebugaran yang semuanya pasti akan terus tumbuh seiring popularitas BNPL di antara konsumen.”

Target ke depan

Berdasarkan studi dari Coherent Market Insights, pasar paylater global diperkirakan akan tumbuh dari US$5 miliar pada 2019, menjadi $33.6 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata (CAGR) lebih dari 21.2%.

Pihaknya turut menyatakan bahwa selain layanan BNPL, Pace juga berencana mengembangkan seluruh rangkaian solusi fintech yang akan membantu bisnis dan konsumen. Perusahaan menargetkan untuk menjangkau 5000 mitra pedagang pada akhir 2021 melalui ekspansi geografisnya ke Asia Utara dan seluruh Asia Tenggara.

Saat ini Pace telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Hongkong. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka akan melebarkan sayapnya ke Indonesia, mengingat keterlibatan Alpha JWC dalam putaran awalnya.

“Kami sangat percaya pada Indonesia dan potensi dampak yang dapat kami sumbangkan di sana. Kami memiliki ambisi untuk menjadi pemain global suatu hari nanti, tetapi kami tahu bahwa kami harus ultra lokal (dari produk hingga layanan) ketika kami memasuki setiap pasar. Kami melakukan yang terbaik untuk berkembang dengan cepat dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk sampai ke Indonesia secepat mungkin,” ujar representatif Pace.

Seperti kebanyakan produk fintech, pangsa pasar akan selalu berubah-ubah, dengan peluang bagi pemain baru dan inovasi baru yang bermunculan. Pihaknya menambahkan, “Yang penting bagi kami adalah bahwa produk dan penawaran kami dikembangkan dengan mempertimbangkan pengeluaran yang berkelanjutan. Kami percaya itu adalah kunci untuk mencapai inklusi keuangan dan aksesibilitas bagi semua orang.”

Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Investree Berambisi Jadi Solusi Fintech Menyeluruh, Berinvestasi ke OY! dan Buat Perusahaan Patungan

Investree mengungkapkan pada tahun kelima operasionalnya telah bertransformasi menjadi perusahaan penyedia ekosistem fintech untuk UKM, tak lagi sekedar perusahaan p2p lending saja. Transformasi telah dilakukan sejak tahun lalu dengan membentuk satu persatu produk yang dibangun sendiri atau melalui investasi.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada hari ini (3/2), Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan, tahun lalu terjadi banyak tantangan yang mengubah strategi akibat dari pandemi yang tidak diantisipasi sejak awal tahun. Usia perusahaan yang sudah memasuki tahun ke-5 ini membuka kesempatan untuk memberikan solusi yang lebih relevan kepada usaha mikro, tak hanya UKM dalam kemudahan mencari pendanaan.

“Kami mulai diversifikasi produk untuk meningkatkan penetrasi, mulai masuk ke segmen mikro bersama para mitra yang sudah membangun ekosistem dan kami yang memberikan produk lending-nya,” terang Adrian.

Beberapa kemitraan Investree dengan perusahaan yang menaungi usaha mikro, di antaranya adalah Gramindo dan eFishery. Dengan Gramindo, Investree terjun membiayai usaha mikro para perempuan di Yogyakarta dengan pola tanggung renteng. Sebanyak Rp3 miliar pinjaman telah tersalurkan untuk 550 peminjam. Mereka dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp2 juta sampai Rp20 juta.

Selain lending, sejumlah solusi fintech untuk UKM yang dibangun perusahaan adalah skoring kredit alternatif buat UKM (ai.foresee); e-procurement (Mbiz, Garuda Financial, dan Pengadaan.com); e-invoicing (billtree); payment (OY!), dan solusi SaaS yang masih dipersiapkan.

Seluruh solusi ini ada yang dibangun sendiri oleh perusahaan, berinvestasi langsung, atau membuat perusahaan patungan bersama mitra yang ahli dibidangnya. Adrian merinci hanya ai.foresee yang dibangun sendiri oleh perusahaan pada tahun lalu, berbekal pengalaman Investree selama lima tahun membaca rekam jejak merchant UKM.

Selama ini, data historis dan profil UKM masih terbatas ketersediaannya. Dengan konektivitas dan menggabungkan alternatif sumber data lainnya, menjadi padanan yang bagus untuk pemain jasa keuangan atau institusi lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam profil UKM yang mereka sasar. “Saat ini ai.foresee sudah dalam proses pendaftaran di OJK sebagai IKD.”

Layanan lainnya yang dibangun secara patungan adalah Garuda Financial bersama Ideosource Venture Capital dan billtree bersama Billte Swiss. Billtree menargetkan pemrosesan pinjaman yang lebih ringkas dengan memaksimalkan fitur e-invoicing.

Terakhir, adalah berinvestasi untuk OY!, melalui perusahaan induk Investree Singapore Pte. Ltd., untuk permudah proses repayment dan disbursement untuk merchant di Investree. Tidak disebutkan lebih lanjut mengenai transaksi ini dilakukan.

“Seluruh anak usaha ini di bawah holding karena POJK tidak memperbolehkan p2p lending memiliki anak usaha di luar kegiatan p2p lending. Jadi perusahaan patungan, termasuk Investree Philippines melalui holding, holding itulah yang melakukan berbagai strategic partnership termasuk investasi ke OY!.”

Perkembangan bisnis Investree Group

Pada tahun lalu secara kumulatif, Investree menyalurkan pinjaman sebesar Rp5,73 triliun, berkontribusi sebesar 10,5% terhadap industri p2p lending yang mencapai Rp54,52 triliun. Adapun TKB90 berada di angka 98,5%, lebih tinggi dari rata-rata industri sebesar 95,22%.

Dari total penyaluran pinjaman, 87% di antaranya datang dari produk invoice financing. Lalu, ada lebih dari 31 ribu pemberi pinjaman yang terdaftar di perusahaan, sebanyak 70% adalah generasi milenial.

Selain Indonesia, saat ini Investree sudah beroperasi di dua negara, yakni Thailand dan Filipina. Baru di Filipina, Investree dapat beroperasi penuh pasca mengantongi izin dari regulator setempat, sementara Thailand diharapkan segera menyusul karena dari pantauan yang Adrian dapatkan sudah mencapai tahap akhir.

“Mudah-mudahan bisa segera dapat [izin operasional di Thailand]. Bila digabung, ini sudah 2/3 ekonomi dari Asia Tenggara. Kami bekerja sama dengan mitra strategis lokal untuk masuk ke sana, dengan mengacu pada playbook yang sudah kami lakukan di Indonesia.”

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Co-Founder dan CEO Investree Philippines Kok Chuan Lim. Ia menyampaikan di sana perusahaan beroperasi seperti Investree pada empat tahun lalu, sebab kondisi ekosistemnya belum sematang Indonesia.

Menyesuaikan dengan kondisi tersebut, maka perusahaan baru menyediakan produk invoice financing dan purchase order financing. Dari segi monetisasi juga mengandalkan sistem komisi dan mencari pemberi pinjaman dari kalangan institusi, belum ke ritel.

“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa bangun kepercayaan, bisa menjadi alternatif selain perbankan dan kami bisa kompetitif. Selain itu dari membangun infrastruktur digital, seperti terhubung dengan biro kredit dan asuransi, juga masih menjadi tantangan untuk bantu kami menyalurkan pembiayaan.”

Di Filipina, lanskap industri keuangan masih dikuasai oleh pemain tradisional. Dengan rincian, jumlah pemain kredit konsumtif mencapai 19 perusahaan dan 17 perbankan yang mengincar penyaluran untuk bisnis skala besar. Sementara, baru ada dua lembaga keuangan tradisional yang menyasar kredit UMKM.

“Sama seperti di Indonesia, kami akan menyasar gap kredit sebesar $221,79 miliar kredit UMKM Filipina yang masih didominasi unbankable, tidak terlayani oleh lembaga keuangan konvensional,” tutup Lim.

Application Information Will Show Up Here

BukuWarung Umumkan Pendanaan Baru; Luncurkan Aplikasi Tokoko

BukuWarung, startup penyedia aplikasi pencatatan keuangan untuk UMKM hari ini (03/2) mengumumkan perolehan pendanaan baru dari Rocketship.vc. Turut terlibat dalam putaran tersebut beberapa perusahaan ritel di Indonesia dan angel investor — tidak disebutkan detail namanya. Kendati tidak diumumkan nilainya, mereka mengatakan bahwa dana yang berhasil dihimpun lebih besar dibandingkan dengan putaran sebelumnya.

Sebelumnya, selepas demo day dalam rangkaian program akselerator Y Combinator pada September 2020 lalu, BukuWarung juga baru mendapatkan pendanaan dari sejumlah investor, meliputi  Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, dan belasan angel investor.

BukuWarung berencana menggunakan dana investasi tersebut untuk memperbesar tim teknologi dan produk mereka di Indonesia, India, dan Singapura sehingga perusahaan bisa meluncurkan lebih banyak produk dan fitur untuk mendigitalisasi UMKM di Indonesia. Tahun ini, perusahaan juga berencana meluncurkan produk monetisasi seperti kredit dan memperluas fitur solusi pembayaran.

Didirikan sejak tahun 2019, BukuWarung telah berhasil merangkul 3,5 juta pengguna dari kalangan pedagang kecil. Mereka tersebar di 750 kota dan kabupaten di Indonesia, dengan mayoritas berlokasi di wilayah tier 2 dan 3. Dengan basis penggunanya, mereka telah mencatat transaksi senilai lebih dari $15 miliar di platformnya dan telah memproses lebih dari $500 juta pembayaran, mengklaim memimpin pasar dalam hal volume.

Belum lama ini mereka juga meluncurkan Tokoko, platform memungkinkan pedagang bisa membuka toko daring mereka. UMKM bisa mencantumkan daftar produknya, mengelola pesanan, menerima pembayaran, melacak pengantaran barang, dan berbicara dengan pelanggan. Sebelumnya mereka juga telah membangun kemitraan strategis dengan Warung Pintar – keduanya merupakan portofolio East Ventures.

“Berbeda dengan pemain lain, kini kami telah meraih pendapatan melalui solusi pembayaran. Namun, kami juga menempatkan pembayaran sebagai cara untuk masuk ke peluang monetisasi lewat layanan finansial lain seiring dengan perkembangan adopsi pedagang. Fokus kami tahun ini adalah memperbanyak penawaran solusi pembayaran dan cara penggunaan [use cases] bagi para pedagang,” kata Co-Founder & Presiden BukuWarung Chinmay Chauhan.

Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa startup pengembang layanan serupa. Dari artikel analisis kami sebelumnya, didaftar beberapa pemain yang saat ini tengah melakukan penetrasi pasar, meliputi:

Aplikasi Peringkat (kategori bisnis) Jumlah Unduhan
BukuKas 3 1 juta+
BukuWarung 6 1 juta+
Credibook 46 100 ribu+
Akuntansi UKM 84 100 ribu+
Moodah 121 10 ribu+
Lababook 184 1 ribu+
Teman bisnis 254 100 ribu+
Akuntansiku 309 1 ribu+

Pesaing terdekat BukuWarung adalah BukuKas. Januari 2021 lalu, mereka baru umumkan perolehan dana seri A senilai 142 miliar Rupiah. BukuKas juga mengklaim telah memiliki 3,5 juta pengguna aplikasi dengan 1,8 juta pengguna bulanan aktif.

BukuKas BukuWarung
Seed Investors Surge, 500 Startups, Credit Saison, dan angel investors East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, dan angel investors
Pre-Series A Investor Surge, Credit Saison, Speedinvest, S7V, January Capital, dan Cambium Grove Capital, Prasetia Dwidharma Quona Capital, East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, Tanglin Venture Partners, Partners of DST Global, GMO Venture Partners, Soma Capital, HOF Capital, VentureSouq, angel investors
Seri A Sequoia Capital India, Saison Capital, January Capital, Founderbank Capital, Cambium Grove, Endeavor Catalyst, Amrish Rau Rocketship.vc, perusahaan ritel Indonesia, angel investors
Accelerator Surge (Sequoia) Y Combinator
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Perluas Mitra Layanan Logistik, DANA Gandeng Anteraja

DANA terus mengembangkan kapasitas layanan logistiknya DANA Delivery dengan menggandeng Anteraja, penyedia jasa pengantaran yang dirintis oleh PT Tri Adi Bersama. Layanan ini pertama kali dirilis pada September tahun lalu bersama Shipper sebagai mitra perdananya.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO DANA Vince Iswara menuturkan, kemitraan dengan Anteraja adalah wujud dari kolaborasi ekosistem yang akan terus diperluas, mengingat logistik telah menjadi mata rantai ekosistem yang krusial dalam mendukung roda ekonomi negara. Sekaligus menegaskan visi DANA menjadi delivery hub bagi penyedia jasa logistik dalam memberikan beragam layanannya, baik B2B maupun C2C.

“Melalui kehadiran Anteraja di DANA Delivery, pengguna DANA dari kalangan masyarakat luas maupun mitra DANA Bisnis bisa melakukan order pengiriman sesuai dengan jenis layanan pengiriman yang dipilihnya. Pengguna kini juga memiliki lebih banyak pilihan jasa kurir saat melakukan order pengiriman, disamping menikmati kemudahan, keamanan, serta jaminan bertransaksi yang diberikan DANA,” ujar Vince dalam keterangan resmi, kemarin (1/2).

CEO Anteraja Suyanto menambahkan, pihaknya senang dengan kerja sama untuk DANA Delivery karena dapat membantu bisnis kecil dan UMKM, hingga pelanggan yang ingin mengirimkan barang secara berkala. “Bersama DANA merupakan salah satu upaya kami dalam memperluas jangkauan wilayah dan layanan. Sehingga diharapkan dengan adanya kerja sama ini, semakin banyak masyarakat di seluruh Indonesia yang memanfaatkan solusi pengiriman on-demand dari rumah,” tuturnya.

Anteraja melengkapi jasa ekspedisi lain yang sudah tersedia di DANA Delivery dengan pilihan jenis pengiriman Same Day dengan SLA pengiriman 8 jam. Anteraja memberikan penawaran flat rate sebesar Rp20 ribu untuk pengiriman di area Jakarta. Adapun saat ini DANA Delivery baru tersedia untuk area Jakarta saja.

Dalam wawancara terpisah bersama DailySocial, Vince menjelaskan antusiasme pengguna DANA terhadap layanan logistik menunjukkan tren positif ditunjukkan selama November hingga Desember 2020 pertumbuhan pesanan sebesar 30%.

“Penambahan mitra logistik menjadi salah satu cara DANA untuk meningkatkan minat pengguna dalam memanfaatkan fitur ini, baik untuk kebutuhan pribadinya maupun kebutuhan berbisnis. Lewat banyaknya pilihan kurir dan tarif yang kompetitif, DANA Delivery dapat melayani lebih banyak pengguna.”

Ia memastikan perusahaan akan terus menambah kemitraan dengan mitra logistik lainnya untuk memberikan nilai tambah kepada para penggunanya. Perluasan layanan DANA Delivery juga akan terus dikaji, khususnya wilayah Jabodetabek.

DANA Delivery menjamin layanan barang yang diberikan aman karena dilengkapi dengan fitur tracking untuk monitor proses pengiriman barang. Selain itu, pengguna dapat mengajukan klaim kepada mitra ekspedisi jika ada kerusakan atau kehilangan saat proses pengiriman.

DANA Delivery memiliki persyaratan, untuk pengiriman Instant, berat maksimal barang adalah 10-20 kilogram. Sedangkan pengiriman Same Day, berat maksimal 5-7 kg. Barang-barang yang tidak diperbolehkan dalam layanan ini seperti senjata atau bahan peledak, narkoba, organ tubuh manusia, hewan, hingga minuman beralkohol.

Application Information Will Show Up Here

Didukung Penuh Telkom Group, RUN System Tawarkan Solusi ERP untuk Perusahaan

Pandemi Covid-19 mendadak mengubah budaya kerja sekaligus mengganggu roda bisnis hampir di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat lebih dari 82 persen bisnis terdampak. Hal ini menyebabkan perusahaan harus kembali beradaptasi dengan kebiasaan baru di masyarakat, dan ini berlaku untuk semua sektor.

Berbagai jenis pekerjaan mulai dari sales, purchasing, akuntansi, inventaris, dan kolaborasi kini harus saling koordinasi demi mencapai hasil pekerjaan yang maksimal. Teknologi ERP (Enterprise Resource Planning) dipercaya bisa menjadi solusi dari kepelikan yang melanda perusahaan. Layanan tersebut mampu menyuguhkan laporan bisnis dari interaksi secara real time sehingga koordinasi antar departemen bisa berjalan lebih efektif dan efisien.

PT Global Sukses Solusi (RUN System) didirikan pada tahun 2010; dan sejak 2013 mengkhususkan diri dalam menyediakan solusi software ERP untuk bisnis skala menengah hingga besar di industri manufaktur, distribusi dan perdagangan, dan jasa. Mereka juga sempat mengikuti program inkubator Indigo Incubator 2014 yang diadakan oleh PT Telkom Indonesia.

RUN System mencoba mewujudkan sebuah solusi lokal yang bisa menyelesaikan masalah global yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan budaya perusahaan di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri.

Pada tahun 2015, Telkom menjadikan RUN System sebagai salah satu Distribution Partner solusi ERP bagi seluruh pelanggannya di Indonesia. Di samping itu, perusahaan rintisan asal Yogyakarta ini turut mendapat dukungan dari MDI Ventures dan dana kelolaannya Centauri Fund.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menjelaskan, investasi di RUN System merupakan salah satu bentuk yang sejalan dengan misi grup Telkom dalam menuju persaingan di pasar software sekaligus berkompetisi dengan pemain global seperti SAP atau Oracle. “MDI Ventures menyasar investasi berdasarkan karakteristik perusahaan dan daya saingnya di era pasca pandemi. Kami melihat RUN System sebagai startup yang sudah established dengan model bisnis yang teruji.” kata Kenneth.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup lain yang sajikan solusi serupa, dua di antaranya Esensi Solusi Buana dan Ukirama. ESB bahkan belum lama ini baru bukukan pendanaan awal senilai 69,5 miliar Rupiah dengan salah satu investor yang terlibat adalah AC Ventures.

Target Bisnis

Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System
Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System

Di tahun 2021, Run System menargetkan peningkatan pendapatan hingga 300% sebagai bagian dari rencana strategis perusahaan untuk memperkuat posisinya di industri ERP tanah air. Dalam wawancara terpisah, Presiden Direktur RUN System Sony Rachmadi Purnomo turut menyampaikan bahwa pihaknya memang dari awal mengincar skala kontribusi yang menjangkau pasar korporasi di Asia Tenggara untuk bisa bersaing dengan pemain global.

Selain itu, IPO juga dikabarkan menjadi target selanjutnya dari perusahaan startup jebolan Indigo batch pertama ini. Sementara itu, di tengah pandemi, antrean perusahaan untuk melantai di bursa jauh dari kata sepi. Dilansir dari Katadata, setidaknya sudah ada 50 emiten yang melakukan IPO sepanjang tahun ini. Berdasarkan pipeline yang ada di bursa, masih ada sekitar 17 perusahaan lagi yang siap untuk melantai.

Saat ini RUN System telah melayani sekitar 50 perusahaan di berbagai skala bisnis mulai dari UMKM, menengah, hingga besar yang bergerak di sektor manufaktur, distribusi, perdagangan, dan jasa. Dalam sesi wawancara berbeda, Soni turut menyampaikan, saat ini timnya tengah menggarap integrasi ERP dan sektor perbankan.

Sony mengungkapkan bahwa peluang industri ERP di Indonesia masih sangat besar, dengan sekitar 10-20% perusahaan yang baru memanfaatkan layanan tersebut untuk bisnis mereka. “Kami sangat optimis industri ERP akan terus berkembang ke depannya dengan semakin banyaknya perusahaan yang mulai berinvestasi dan mengimplementasikan sistem ERP untuk mengefisiensikan operasional mereka,” jelasnya.